Pers di Tengah Pandemi,
Empati dalam Dua Wajah

by -

Pers di Tengah Pandemi,
Empati dalam Dua Wajah

Oleh Amir Machmud NS

EMPATI dalam dua wajah menjadi rona ekspresi wartawan dan media pada masa-masa pandemi Covid-19 ini, yakni empati internal dan eksternal.

Pada ujungnya, dua wajah ini akan memosisikan pers dalam menyikapi kemerdekaannya: apakah akan ada adaptasi-adaptasi independensi karena “intervensi-intervensi” atas realitas yang berlangsung di sekeliling dirinya? Atau pers tetap bebas seperti peran asasinya?

Secara internal, mengembang rasa sepenanggungan (compassion) antarwartawan yang sama-sama terdampak jika melihat kalkulasi ekonomi perusahaan pers saat ini.

Terdapat problem cash flow ketika pendapatan iklan — dari pendekatan bisnis maupun kerja sama dengan para mitra kerja — terpaksa “dipenggal” sebagai efek ekonomi pandemi.

Sedangkan secara eksternal, empati itu mewujud sebagai kewajiban moral melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni peran untuk menyampaikan informasi, memberi edukasi, dan menjalankan kontrol sosial.

Wartawan dan media terlibat dalam sosalisasi, menjadi panduan, dan menginspirasi dalam perang melawan Corona.

Dengan dua wajah itu, yakni keribetan bertahan hidup dan berperan sebagai bagian dari elemen peperangan melawan Covid-19, “daya tahan” survivalitas media pun kini banyak didiskusikan.

Dari perspektif ini, realitasnya pers merupakan entitas bisnis yang ikut terpukul atas kondisi ekonomi secara makro sebagai dampak pandemi. Pada saat bersamaan, muncul tuntutan agar pers mengekspresikan empati kepada warga masyarakat yang berperspektif realitas entitas idealis.

Solusi Jangka Pendek

Tentu tidak berlebihan ketika disimpulkan, wartawan dan media tengah menghadapi pressure serius ekonomi, walaupun peluang untuk recovery juga terbuka apabila masa pemulihan untuk “membersihkan” Tanah Air dari pandemi Covid-19 bisa berlangsung secara cepat.

Jika protokol-protokol penanganan pandemi tidak dilaksanakan oleh semua unsur masyarakat secara disiplin, pukulan ekonomi itu bakal makin lama dan kait-mengait, termasuk dialami oleh perusahaan-perusahaan media.


Pada latar inilah, pers berperan untuk ikut menginspirasi kedisiplinan pelaksanaan protokol-protokol kesehatan itu, yang nantinya produk sajian pemberitaannya menjadi umpan balik pendorong proses-proses recovery.

Dalam kondisi demikian, peran media membutuhkan topangan untuk merawat survivalitas. Kepada siapa media bersandar? Tentu kepada para mitra kerja, termasuk pemerintah, karena institusi-institusi bisnis dan lembaga lainnya pasti memilih menekan biaya-biaya promosi melalui media seperti biasanya.

Media butuh topangan penyangga ini dari anggaran pemerintah lewat kerja sama pemberitaan, apakah berupa advertorial atau pesan-pesan sosialisasi perang melawan Corona.

Tekanan anggaran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota memang merupakan realitas yang dihadapi untuk fokus penanganan pandemi; namun memasukkan media sebagai bagian dari elemen atau “tim” bisa menjadi jalan tengah jangka pendek.

Jangka pendek, terutama portal-portal berita dengan omzet sederhana, bisa menempuh kemitraan semacam itu.

Dalam praktik, media-media itu membutuhkan cash flow bulanan untuk gaji wartawan, redaktur, dan sumberdaya teknologi informasi.

Biaya-biaya listrik dan pajak tidak masuk dalam coverage besar seperti perusahaan-perusahaan media beromzet raksasa.

Sedangkan solusi jangka panjang merupakan pilihan langkah lain yang diformulasikan setelah pandemi usai. Prioritas dalam jangka dekat, penyelamatan media-media lebih terfokus ke beban-beban bulanan.

Pantaskan Meminta Prioritas?
Perusahaan-perusahaan media harus mencari solusi menyelamatkan kelangsungan bisnisnya, termasuk bagaimana mengelola keadaan dengan segala tekanan yang dihadapi untuk bertahan hidup.

Sementara itu kondisi di berbagai level penyelenggaraan pemerintahan juga menuntut penyesuaian-penyesuaian. Anggaran dinas-dinas pemerintah harus beradaptasi.

Dari biaya perjalanan dan operasional kegiatan, perencanaan pembangunan yang tidak mungkin direalisasi, hingga ide untuk memotong pendapatan pegawai eselon tertentu.


Melihat kondisi seperti itu, apakah pantas media-media meminta prioritas?
Ini sebenarnya merupakan persoalan sudut pandang.

Apabila pers diposisikan sebagai barisan terdepan yang ikut mengawal penyampaian informasi dan pendidikan kepada publik, tentu jalan pikiran penyelamatan tidak berlebihan.

Juga wajar, apabila pers diposisikan sebagai penyeimbang untuk mengontrol langkah-langkah pemerintah. Jadi bukan merupakan ungkapan kemanjaan jika pers mendorong bentuk-bentuk “subsidi kemitraan” dari pemerintah untuk menjaga eksistensinya.

Konsekuensi nalar kritis kemerdekaan pers boleh jadi akan mempertanyakan: apakah prioritas kemitraan itu tidak akan mempengaruhi independensi media?

Wajar juga, karena “ketergantungan” pada model kerja sama untuk menopang kehidupan media itu bisa melemahkan posisi tawar pers. Tuntutan psikologis harus begini dan begitu dikhawatirkan menjebak media hanya memformulasikan model-model pemberitaan yang bersifat “terarah”.

Namun akan ada kemungkinan positif ketika seorang kepala daerah memahami hakikat kemerdekaan pers, sehingga dia memaknai bahwa kerja sama apa pun tidak lantas diikuti “klausul formal maupun nonformal” untuk hanya menginformasikan yang baik-baik saja tentang berbagai kebijakan pemerintahannya.

Posisi UKW

Saya juga menyerap realitas lain di lapangan, betapa persoalan independensi dan tekanan yang dihadapi oleh media yang terdampak kondisi ekonomi, membuat tak sedikit wartawan mempertanyakan “fungsi” kartu dan sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang diselenggarakan oleh Dewan Pers.

Di Jawa Tengah misalnya, sudah lebih dari 500 wartawan yang tersertifikasi dalam jenjang Wartawan Muda, Madya, dan Utama. Pada 2015-2019, PWI provinsi ini sudah menyelenggarakan 16 kali UKW.
Hal ini menunjukkan antusiasme untuk mengikuti kegiatan pembuktian profesionalitas itu.


Di tengah tekanan pandemi, banyak teman wartawan yang berpikir pendek untuk menyoal, mengapa sertifikasi wartawan tidak berdampak langsung dengan “pengakuan” berupa kontraprestasi tertentu seperti misalnya, sertifikasi guru?

Sudah jelas bahwa wilayah struktural keuangan guru berbeda dari wartawan. Jika pemerintah memberi “konsekuensi UKW” kepada wartawan, bagaimana dengan independensinya?

Kalaupun disediakan insentif untuk pemegang kartu UKW, mestinya yang lebih tepat memberikan adalah perusahaan medianya. Di Jawa Tengah, tercatat baru ada satu media (televisi) yang memberi insentif bulanan bagi wartawannya yang lulus UKW.

Dari awal ditegaskan, UKW dilaksanakan atas nama pemartabatan dan pembuktian rekonstruksi profesionalitas wartawan. Pertanyaan tentang insentif kita pahami sebagai impulsi karena tekanan-tekanan kondisi saat ini. Akan tetapi pertanyaan itu lebih baik terungkap ketimbang wartawan memilih unjuk perilaku yang membelakangi etika jurnalistik.

Dewan Pers pun kiranya perlu menyikapi “masukan” tersebut secara bijak. Jangan serta merta menilainya sebagai sikap “gagal paham” UKW. DP harus membuka diri terhadap realitas praktik di lapangan, bahwa tidak ada perbedaan perlakuan narasumber terhadap wartawan yang sudah memegang kartu UKW atau yang tidak memilikinya.

Mari kita serap “guyon parikena” akar rumput ini, “Apakah kira-kira ada formulasi untuk membedakan wartawan yang sudah dan belum UKW, yang dalam jangka panjang bisa menengahi perdebatan tentang kesejahteraan wartawan, agar tidak justru bermuara pada keterancaman independensi media dan pelanggaran etika jurnalistik?”

— Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah, dan Wakil Ketua Litbang SMSI Pusat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.