In Memorium: NAZIF BASIR GURU, ABANG dan SAHABAT

by -

Oleh Makmur Hendrik

 

 

TAHUN 1970-an di Sumatera Barat siapa tak kenal koran Singgalang. Di Singgalang siapa yang tak membaca dua novel silat: Palimo Alang Bangkeh dan Sapik Kalo Sigalapuang.

 

Orang menunggu Singgalang tiap terbit. Mula2 1x Seminggu, tiap hari Sabtu. Kemudian 2x, Sabtu dan Rabu.

 

Dan di Singgalang, yg jadi bacaan utama orang adalah novel Silat karya Nazif Basir: Palimo Alang Bangkeh dan Sapik Kalo Sigalapuang.

 

Tahun 1971, saat Palimo Alang Bangkeh sedang di puncak masa jayanya, saya kuliah di APTN (Akademi Pendidikan Teknik) yg gedungnya menempati Gedung eks BAPPERKI, sekarang Museum Angkatan 66 di Jalan Ahmad Karim (sebelumnys bernama Jalan Lurus) Bukittinggi.

 

Nazif Basir bolak balik Padang (domosili Kantor Singgalang) dan Bukittinggi (tempat Singgalang.dicetak, di CV Percetakan Nusantara, kini Percetakan Daerah).

 

Saya yg sebelumnya sudah kenal dg bang Nazif saat sendra tari Imam Bonjol, sering menemani beliau melakukan koreksi akhir terhadap Singgalang, dipercetakan Nusantara.

 

Di sela2 pembicaraan, dia bercerita tentang mengapa sebuah berita harus dikoreksi. Dia bercerita bagaimana terkadang dia harus menulis cerita Alang Bangkeh “kalansangan” karena didesak waktu akibat lalai.

 

Perkenalan inilah kemudian yg mendorong saya ke dunia jurnalistik. Tahun 1972 saya dibawa uda Nazif bekerja di Singgalang. Saat itu saya kuliah di IKIP dan menjadi Ketua Dewan Mahasiswa.

 

Tahun 1975, ketika saya dikirim Singgalang mengikuti Penataran Jurnalistik di Jakarta, dengan tutor para “raksasa” Pers Indonesia (Rosihan Anwar, Jakob Utama, Goenawan Muhamad, Ismid Hadad) dimana saya terpilih menjadi Peserta Terbaik dan mendapat hadiah langsung dari Menteri Penerangan, orang pertama yg saya kabari adalah guru Jurnalistik saya: Nazif Basir (waktu itu beliau tak lagi di Singgalang, dan sudah pindah sejak 1971 ke Jakarta).

 

Iseng2 saya menulis cerita silat, Palimo Agam, mutlak meniru cara dan gaya Nazif Basir menulis Palimo Alang Bangkeh.

 

Ketika pindah ke Jakarta (sekaligus berhenti dari Singgalang), bang Nazif tidak meninggalkan naskah sambungan Palimo Alang Bangkeh.

 

Untuk seminggu dua, cerita itu tidak pula dihentikan. Sebab cerita itu daya tarik utama Singgalang. Yang meneruskan menulis cerita tsb adalah uda Nasrul Siddik.

 

Di tangan Nasrul Siddik, Palimo Alang Bangkeh yg awalnya adalah parewa gadang, berobah jadi pendekar sholeh. Malah sampai naik haji segala.

 

Nasrul penulis esai serius dan parodi Minang dg judul Sapu Tangan Sirah Baragi. Namun bukan penulis cerita silat.

 

Dalam kebingungan bagaimana cara menyambung Palimo Alang Bangkeh yg ditinggalkan begitu saja oleh uda Nazif Basir, Nasrul Siddik selaku Pimpinan Redaksi Singgalang menemukan beberapa lembar cerita silat Palimo Agam yg saya tulis.

 

“Ma carito ko nan lain?” tanya uda Nasrul. Maksudnya menanyakan lembaran lain yg sudah diketik.

 

Dengan ragu2 saya menyodorkan beberapa lembar yg sudah saya ketik.

“Sudah berapa banyak yg selesai diketik?”

“Ada sekitar 30 lembar” jawab saya

“Nazif tak meninggalkan sambungan ceritanya. Kita tamatkan saja. Kita ganti dengan Palimo Agam, cerita yg dibuat Makmur ini” kata uda Nasrul Siddik.

 

Ada perasaan ngilu di hati saya. Cerita saya menggantikan cerita Nazif Basir yg ikonik itu?
Paling2 bertahan 2 atau 3 kali terbit. Setelah itu Singgalang tak dibeli orang!

 

Tapi kenyataan berkata lain. Palimo Agam dimuat sampai 4 tahun. Lalu diganti dengan Intan Suri, yg juga saya tulis; selama 3 tahun.

 

Cerita2 silat itu 1000% mengadopsi pola Nazif Basir bercerita. Ya, karena dia adalah guru jurnalistik saya, sekaligus guru membuat novel silat.

 

Bagi saya Nazif Basir (almarhum) adalah guru, abang dan sahabat. Asal saya ada keperluan di Jakarta, saya pasti mampir ke rumah beliau dan uni Elly Kasim, di jalan Beton.

 

Beliau bangga saya menggantikan beliau sebagai penulis utama cerita silat di Singgalang.

 

Kini beliau telah tiada. Wafat kemarin hari Jumat pukul 20.30 di Jakarta.

 

Selamat jalan Bang Nazif Basir. Istirahatlah dengan damai di alam sana. Jasamu mendidikku menjadi wartawan dan novelis, pasti menjadi amal saleh bagimu. Amin YRA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.