Catatan Redaksi
Lima orang Penggiat Perhutanan Sosial, yakni Diah Suradiredja, Edo Ridha Hakim, Markum, Andi Pramaria dan Wiji J. Santoso, menulis sejarah lahirnya Perhutanan Sosial.
Tulisan ini sangat baik diketauhi masyarakat terutama bagi warga yang tinggal di sekitar hutan.
Untuk itu Semangatnews.com akan menurunkan secara bersambung.
Selamat membaca.
Pada Tahun 2001, Kebijakan pengelolaan HKm mengalami perubahan yang ditetapkan melalui Kepmenhut No 31/2001 tentang Penyelenggaraan HKm (Kepmen 31/2001).
Keputusan ini mengatur tentang penetapan wilayah pengelolaan HKm yang didasarkan pada hasil inventarisasi dan identifikasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, yang meliputi sumber daya hutan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.
Di samping itu, adanya penyiapan masyarakat dalam bentuk kelembagaan, aturan internal, aturan pengelolaan HKm, pengakuan masyarakat melalui Kepala Desa/Lurah, dan lain-lain.
Perizinan juga mengalami perubahan dari Izin Pemanfaatan HKm menjadi Izin Kegiatan HKm yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota setelah diterbitkan penetapan wilayah pengelolaan dari Menteri dan proses penyiapan masyarakat.
Pada Tahun 2007, seiring terbitnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, maka Kepmen No 31/01 disesuaikan kembali, menjadi Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No P.37/2007 tentang HKm.
Perubahan mendasar adalah tata cara penetapan areal kerja HKm; menempatkan peran pemerintah (UPT Dirjen RLPS) bersama eselon I dan Pemerintah Daerah dalam menentukan calon areal kerja HKm dan memfasilitasi permohonan masyarakat setempat; dan usulan Gubernur atau Bupati/Walikota dilakukan verifikasi oleh Tim yang dibentuk oleh Menteri.
Peraturan P.37/2007 merupakan landasan bagi penyelenggaraan HKm yang cukup lama dipertahankan.
Perubahan yang terjadi dalam peraturan ini, antara lain menyangkut tata cara penetapan areal kerja HKm yang diawali dari usulan masyarakat kepada Bupati/Walikota atau Gubernur. Bupati/Walikota atau Gubernur melakukan verifikasi menyangkut kesesuaian dengan rencana pengelolaan, hasil inventarisasi dengan data dasar masyarakat dan potensi kawasan.
Selanjutnya, berdasarkan hasil verifikasi tersebut, Bupati/Walikota atau Gubernur mengusulkan penetapan areal kerja HKm kepada Menteri.
Terhadap usulan Bupati/Walikota atau Gubernur tersebut, dilakukan verifikasi oleh Tim verifikasi yang dibentuk oleh Menteri. Tim verifikasi beranggotakan unsur eselon I lingkup Departemen Kehutanan dan Kepala Badan Planologi sebagai koordinator Tim verifikasi dengan fokus pada kepastian hak atau izin yang telah ada serta kesesuaian fungsi kawasan.
Pada peraturan ini mulai dikenalkan Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm). Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan HKm, P.37/2007, mengalami beberapa perubahan melalui P.18/2009.
Perubahan tersebut antara lain menempatkan Direktur Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Perhutanan Sosial (RLPS) sebagai penanggung-jawab dalam verifikasi serta membagi Hak Pemegang IUPHKm berdasarkan fungsi hutan yang menjadi areal kerja HKm.
(zln/Hms-Sumbar)