Sejarah Perkembangan Etnik Minangkabau(10)

by -

Oleh Khairil Anwar

Pada tahun 1368 M, istri Ananggawarman “Puti Reno Yudah” yang berasal dari kaum Datuak Parpatiah Nan Sabatang melahirkan anak-anak laki-laki  bernama Vijayawarman. Tahun 1377 M, kerajaan Majapahit terbagi dua antara lain; Majapahit Wetan dan Majapahit Kulon, kedua Majapahit ini meminta upeti kepada kerajaan-kerajaan dibawah Minangkabau.
Tahun 1378 M, Adityawarman mengumumkan, bahwa Kerajaan Minangkabau tidak lagi berada dibawah Kerajaan Majapahit, dan tidak akan membayar upeti kepada Kerajaan Majapahit.

Pada tahun 1379 M, Adityawarman meninggal dunia, digantikan oleh putranya Ananggawarman sebagai Maharaja Diraja Minangkabau, para pembantu dan orang-orang dekatnya semua beragama Islam. Sepeninggal bapaknya Adityawarman, Ananggawarman bersama orang-orang dekatnya resmi memeluk agama Islam, dan setelah itu prasasti Ananggawarman tidak ada lagi. Tahun 1389 M, Ananggawarman meninggal dunia, digantikan oleh Vijayawarman sebagai seorang penganut Islam yang taat. Pada tahun 1400 M, Raja pertama Banten (Sulthan Banten) bernama Pangeran, beliau berasal dari Indropuro, kemudian anaknya menjadi Raja di Silebat (dekat Bengkulu).

Pada tahun 1401 M, Vijayawarman meninggal dunia, digantikan oleh anaknya “Bakilek Alam”. Pada tahun ini Bakilek Alam dinobatkan sebagai “Maharaja Diraja Alam Minangkabau”. Pada waktu perbedaan antara adat dan kebudayaan (Islam) belum terselesaikan ditengah masyarakat, dan beliau ingin untuk menyelesaikannya secara musyawarah mufakat. Pada tahun 1403 M, Bakilek Alam Tuanku Maharajo Sakti Maharajo Dirajo Alam Minangkabau bersama  Datuak Bandaro Putiah, mengumpulkan pucuk-pucuk adat, alim ulama dan cadiak pandai orang Minangkabau inti (tigo luhak) untuk berbincang-bincang diatas Bukit Pato Marapalam. Pada tahun ini Kerajaan Minangkabau berubah menjadi Kesulthanan Minangkabau Darul Qarar. Tahun 1480 M, putera Minangkabau bernama Datuak Panduko Marajo mendirikan Kesulthanan Jambi.

Pada awal abad ke-15 M, terdapat kesepakatan orang Minangkabau untuk membentuk Kesulthanan, yang berarti sebuah pemerintahan yang pemerintahannya diatur secara Islam dengan kepala negaranya yang disebut “Sulthan”. Pemerintahan secara Islam itu mewajibkan seluruh kesepakatan perjanjian dan keputusan dibuat secara tertulis yang artinya bahwa budaya tulis-baca di Minangkabau sudah memasyarakat, dan dengan demikian bahwa budaya Minangkabau yang bersifat lisan ke lisan yang disebar-luaskan Belanda itu adalah tidak benar.

Pada tahun 1511 M, setelah Malaka dikuasai Portugis, ekspor Minangkabau melalui Selat Malaka terganggu, karena orang Portugis sombong dan suka menguasai, masyarakat Minangkabau memindahkan penjualan hasil produksinya dari dataran tinggi Minangkabau ke pantai barat melalui jalan setapak yang sangat sulit seperti ;

# hasil dari Pasaman diekspor melalui Air Bangis

# hasil dari Bonjol, Palupuah, Alahan Mati, Binjai dan Palembayan dibawa melalui Sungai Masang dan diekspor melalui Katiagan.

# hasil dari Agam Matur, Lawang dibawa melalui Maninjau, Lubuak Basung dan diekspor melalui Tiku.

# hasil dari Kotobaru lereng Gunung Merapi, Singgalang bagian utara dibawa melalui Malalak, Ulu Banda dan diekspor melalui Nareh.

# hasil dari Batusangkar dan utara Danau Singkarak dibawa melalui Jaho, Tambangan, Kayutanam, Sicincin dan diekspor melalui Pariaman.

# hasil dari Solok dan daerah selatan Danau Singkarak dibawa melalui Malalo, Koto Tangah, Pauh dan diekspor melalui Padang.

# hasil dari Solok Selatan diekspor melalui Salido/ Painan dan Batang Kapeh.

# hasil dari Kerinci diekspor melalui Indropuro. (Bersambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.