Keadilan Begitu Mahal Buat Siti Fadilah

by -
SITI FADILAH DIPERIKSA : Bekas Menteri Kesehatan 2004 - 2009 Siti Fadilah Supari, usai menjalani pemeriksaan, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/12). Siti diperiksa dalam kasus dugaan menerima gratifikasi berupa Mandiri Traveller's Cheque (MTC) senilai Rp1,275 miliar, terkait korupsi proyek pengadaan alat kesehatan untuk kebutuhan pusat penanggulangan krisis Departemen Kesehatan dari dana DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), revisi APBN Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan tahun anggaran 2007. Foto : Tedy Kroen/Rakyat Merdeka

OLEH  DEREK MANANGKA

KETIKA vonis 12 tahun penjara dijatuhkan oleh hakim KPK bagi Angelina Sondakh, keputusan beberapa tahun silam itu, tidak membuat saya tertarik apalagi berreaksi.

Namun ketika Rabu kemarin, vonis 6 tahun penjara dijatuhkan kepada Siti Fadilah, saya bukan hanya tertarik. Tetapi sangat sedih dan super kecewa.

Ini bukan soal perbedaan status. Angelina Sondakh politisi Partai Demokrat hanya berstatus (mantan) anggota DPR-RI, sementara Siti Fadilah seorang intelektual yang menjabat Menteri Kesehatan RI periode 2004-2009.

Saya bukan ahli hukum, tetapi barometer yang saya gunakan hal-hal yang normatif plus data instink tentang mereka yang menjadi pasien KPK.

Semua itu memberi bahan untuk menyimpulkan, keadilan bagi Bu Siti Fadilah, sudah dirobek-robek. Hakim yang memvonis Siti Fadilah, dalam pertimbanganya lebih menyebut hal yang memberatkan.

Tanpa tahu, bahwa jasa Siti Fadilah kepada negara dan bangsa ini, tidak bisa dinilai dengan uang.

Secara pribadi saya lebih dekat dengan Angelina, ketimbang Siti Fadilah.

Angelina dan saya sama-sama berasal dari Manado. Ayahnya Profesor Lucky Sondakh, mantan Rektor Unsrat, teman saya bermain golf.

Selepas menjalani kewajibannya sebagai Putri Indonesia, Angie sempat saya tawari menjadi host di RCTI, ketika saya menjabat Pemimpin Redaksi di TV milik Hary Tanoe tersebut.

Di tahun 2004, Angie masih sempat meminta pendapat saya, mana yang lebih baik yang harus dia pilih – masuk calon anggota DPR-RI mewakili Partai Demokrat atau mencalonkan diri sebagai non-partisan untuk keanggotaan DPD-RI periode 2004-2009, mewakili Provinsi Sulawesi Utara.

Sebelum itu, di tahun 2001, saya mewawancarainya untuk program “Impact”, di Quick Channel, televisi berbasis pelanggan milik Peter F. Gontha. Angie, cukup tersanjung dengan wawacara dalam bahasa Inggeris itu – hingga dia menuliskan soal saya di blog pribadinya.

Itu semua sekedari menunjukkan, kemistri antara saya dan Angelina lebih lengket ketimbang dengan Siti Fadilah.

Namun saya kemudian tidak punya empati kepada Angelina, sebab dia pernah menjadi bintang iklan pemberantasan korupsi.

“Katakan tidak pada korupsi”, katanya sebagai bintang sekaligus politisi Partai Demokrat, bersama Andi Mallarangeng.

Tapi lakonnya di luar iklan, berbeda 180 derajat. Angie dan Andi Mallarangeng pun masuk penjara karena korupsi.

Sementara dengan Siti Fadilah, janda berusia 60-an tahun, saya baru mengenalnya tiga tahun lalu. Dan saya lah yang berinisiatif mengenalkan diri. Tidak mudah meyakinkannya. Walaupun saya mempromosikan diri, mungkin terlampau berlebihan.

Namun saya ngotot mengenalnya lebih dekat, sebab media internasional demikian elegant menokohkannya, sementara media di dalam negeri, seperti mengabaikannya. Wanita paruh baya asal Solo ini di mata saya sangat spesial.

Berat memang. Sekalipun Ibu Siti, sudah tidak menjabat sebagai Menteri, ketika di tahun 2014 itu, saya berusaha masuk ke pikiran dia, tidak mudah meyakinkannya.

Sikapnya baru mencair, sewaktu saya tunjukkan dua artikel tulisan saya di INILAH DOTKOM, dimana saat itu saya hanya menggunakan materi dari media-media asing.

Media-media asing menyebutnya sebagai seorang intelektual dan pejuang Indonesia, yang dibutuhkan dunia.

Terutama menghadapi dominasi negara-negara industri dalam bisnis farmasi.

Yang saya kagumi, antara lain keberanian dia menolak semua tawaran dari berbagai pihak negara asing. Tawaran yang bernilai triliunan rupiah.

Mulai dari tawaran mau dibuatkan Rumah Sakit Khusus di Jenewa, Swiss. Bahkan didukung untuk menjadi Presiden RI periode 2009-2014.

Syaratnya, Ibu Siti tidak mengorek-ngorek perdagangan virus yang diselewengkan oleh pejabat Amerika di WHO (World Heath Organization) ke perusahaan-perusahaan industri farmasi di negeri Paman Sam itu.

Sehingga inilah yang membuat hatiku berjerit. Bahwasanya kalau Bu Siti memang memiliki karakter mata duitan, dia sudah pasti lebih memilih tawaran asing di atas.

Bandingkan duit yang disebut-sebut disalahgunakan atau dikorupsi oleh Bu Siti dalam penyediaan Alat Kesehatan, nominalnya relative sangat kecil. Apabila dibandingkan dengan tawaran asing.

Kalau mau disederhanakan, Siti Fadilah sebagai Menteri Kesehatan RI, mampu mencegah pemanfaatan virus asal Indonesia, yang nantinya digunakan untuk “mematikan” Indonesia.

Siti Fadilah, merupakan pejabat tinggi negara RI yang berhasil mencegah beroperasinya berbagai proyek kesehatan di Indonsia, yang sebetulnya untuk menghancurkan Indonesia.

Banyak yang tidak paham, menghancurkan Indonesia, tidak melalui jalur kesehatan. Ancaman Indonesia selalu dianggap datangnya pasti dari bidang keamanan dan ekonomi.

Siti Fadilah-lah yang berhasil membaca manuver negara asing – menghancurkan Indonesia melalui penyebaran penyakit menular yang sulit diobati.

Di tangannya pula, sebuah proyek penelitian asing yang memiliki anggaran Rp. 2 triliun per tahun dihentikan. Proyek tersebut terkenal dengan sebutan NAMRU. (Lihat linknya …http://forum.detik.com/keberadaan-namru-2-di-indonesia-adal……….).

Banyak yang tidak sadar, bahwa penyakit flu burung yang pernah berjangkit di Indonesia, sebetulnya sebuah rekayasa. Dengan tujuan membuat penyakit itu menular ke seluruh Indonesia.

Dan untuk memberantas atau mengobati pasien flu burung, Indonesia harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Pada saatnya, APBN Indonesia akan digerogoti oleh anggaran untuk membeli obat penyembuh flu burung. Pada saat itu akan datang tawaran dari Bank Dunia agar Indonesia meminjam dana dari lembaga keuangan tersebut. Tentu saja ada hitung-hitungan bunganya.

Sehingga dana yang dibutuhkan Indonesia untuk kesehatan, bisa melebihi anggaran untuk pembelian senjata (Alutsista).

Inilah yang berhasil dicegah Siti Fadilah. Dalam sudut ini, saya menilai Bu Siti, seorang pahlawan bangsa yang tak dikenal. Sehingga diapun dianggap tidak berjasa.

Naluri kewartawanan saya berkata, diadilinya Siti Fadilah sebagai tersangka koruptor, tidak sesederhana seperti yang dituduhkan kepadanya. Apalagi melihat proses menjadikannya sebagai tersangka.

Boleh jadi ia menjadi korban dari sebuah konspirasi, yang sulit dibuktikan secara hukum. Karena Siti Fadilah sejak masih menjabat sebagai Menteri Kesehatan sudah menjadi target yang harus dieleminir.

Semoga kecurigaan ini, menjadi bahan pertimbangan bagi para penegak hukum yang menangani perkara nenek berusia 66 tahun tersebut.

Selain itu para penegak hukum bisa menggunakan naluri kemanusiaan mereka. Dengan satu pertanyaan, akan berbahagiakah anda-anda memenjara Siti Fadilah selama 6 tahun di Rutan Pondok Bambu selain mewajibkan dia membayar denda Rp. 1,5 miliar?

Bagaimana cara Bu Siti mencari uang Rp. 1,5 miliar? Sementara peluangnya untuk bekerja, sudah tidak ada.

Saya yang tidak punya hubungan darah dengan keluarga Bu Siti, membaca berita tentang hukuman itu sudah jadi “pusing kepala berbi”. Terlalu. [***] Penulis adalah wartawan senior

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.