Oleh Paxalle Koto
Jika terciptanya brand awareness di pasar domestik (dalam negeri) menjadi target utama peluncuran iklan “Saya Indonesia, Saya Pancasila”, maka penunjukkan Jokowi sebagai brand ambassador sudah tepat. Tidak ada figur lain yang bisa menjadi personifikasi simbol negara, selain Presiden. Siapa lagi brand ambassador yang paling tepat untuk mengendorse Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, kalau bukan Kepala Negara ?
Namun yang jadi masalah, ketika kedaulatan negeri ini terang-terangan disubordinatkan oleh pemerintah RI pada skema One Belt One Road (OBOR)-nya RRC dan One Government One System (OGOS)-nya AS, iklan tersebut tak lebih dari absurditas belaka. Tanpa makna. Sebab, penyerahan kedaulatan negeri ini pada asing tidak merefleksikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, jauh dari sikap Pancasilais. Menurut pandangan saya, kalimat “Indonesia Untuk Bangsa Indonesia” lebih pantas diucapkan oleh Presiden RI karena mewakili suasana kebatinan bangsa yang sedang ditindas oleh jaringan konspirasi global selama 19 tahun terakhir. Ucapan tersebut bobotnya sama dengan pernyataan patriotik yang pernah disampaikan oleh Mustafa Kemal Atatürk (Turki Untuk Bangsa Turki) dan Gamal Abdel Nasser (Mesir Untuk Bangsa Mesir).
Bangsa ini butuh martabat, harga diri dan kehormatan, juga kejayaan. Untuk meraih semua itu, bangsa Indonesia wajib menghikmati rasa hayat sejarah (historisch-leven gevoels), menemukan kembali jati diri, menentukan siapa sejatinya musuh bersama (common enemy), menempuh Ruptura Pactada, memiliki nilai bersama (collective behaviour), menentukan titik berangkat bersama (common value) dan menentukan terminus ad quem (titik tuju) sejarah.
Ironisnya, sampai hari ini, roadmap tersebut tak pernah kita pakai. Akibatnya, kita sesat jalan.