Jakarta Kebanjiran, Di Bogor Angin Ngamuk
(Dilahap Sampai Habis Jangan Ada Sisanye)
Oleh Dian Andryanto
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan harus bertanggung jawab terhadap penanganan banjir di ibu kota? Harus.
Harus dikritisi? Wajiblah.
Buat dia tak bisa nyenyak memikirkan warganya yang rumahnya terendam dan mengungsi ke mana-mana? Ya, Iyalah.
Tidak ada tidak, Gubernur Anies harus segera menyelesaikan persoalan ini.
Begitu dong, deh….
Ketika menulis ini, backsound saya adalah lagu “Kompor Meleduk” Benyamin S. //Nyak banjir //Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk…// Lagu yang diciptakan 1970 an dan menjadi hits itu menggambarkan realitas sosial tentang susah jadi orang urban yang kebanjiran dan rumah kampung rapat rawan kebakaran.
Gubernur legendaris Ali Sadikin saat itu pun belum punya langkah jitu mengatasi banjir ibu kota. Urbanisasi semakin meningkat, penduduk terus bertambah, persoalan makin kompleks. Begitupun Gubernur setelahnya, Tjokropranolo, R. Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto, Soerjadi Soedirja, bahkan Sutiyoso.
Kita tentu masih ingat Fauzi Bowo membuat kesal warga Jakarta ketika menyebut beberapa daerah di Jakarta dengan istilah “hanya genangan” bukan banjir. Ia menolak jika Jakarta dikatakan mengalami banjir. “Harus dibedakan antara banjir dan genangan,” kata Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta, saat menghadiri pisah sambut Kapolda Metro Jaya, Kamis (7/10/2010).
Lalu Joko Widodo, baru dua bulan menjabat pada Desember 2012 sudah disuguhi banjir besar. Sejumlah ruas jalan utama, seperti Jalan Sudirman-Thamrin dan daerah Grogol, terendam. Dia mengecek gorong-gorong yang kemudian viral. Dua tahun kemudian banjir “bertamu” lagi, lebih besar dari tahun sebelumnya. Thamrin – Bundaran HI bagai empang, pompa air terendam tidak berfungsi sama sekali. Muncul status tanggap darurat ibu kota saat itu. Dan foto Jokowi termenung dekat tanggul jebol, jadi viral pula.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan, permasalahan kemacetan dan banjir di Jakarta akan mudah teratasi jika dia menjadi presiden. Itu disampakainnya di Balai Kota 24 Maret 2014. Jadi Presiden kemudian, 2 periode pula sampai sekarang.
Apakah Jakarta di era Basuki Tjahaja Purnama bebas banjir? Februari 2015 ia meyakini tak ada alasan Istana dan Monas kena banir. Kenyataannya, banjir nyelonong Istana dan Monas. Pompa air tak nyala. Setahun kemudian Ahok menghadapi banjir hebat merendam kawasan ring 1 Istana Merdeka, ia bahkan menuduh ada sabotase terhadap kejadian itu.
April 2016, Ahok keliling ke pintu air Cipinang, Malaka, Banjir Kanal Timur. Saat itu ia nampak emosi kebijakannya atasi banjir tidak sesuai harapan. SKPD kena amarah termasuk Wali Kota Jakarta Utara dan Wali Kota Jakarta Pusat. September 2016, bahkan air masuk Balai Kota sebetis orang dewasa. “Ya kayak kamu isi gelas. Kamu isi terus akhirnya bagaimana? Ya pasti luber kan,” kata Ahok memberikan analogi terkait derasnya curah hujan di Jakarta saat itu. di Balai Kota, Jakarta, Selasa (21/2/2017).
Anies sebelum ketamuan banjir 01012020 ini, pada 17 Desember 2019 sudah “ditodong” banjir ibu kota, 27 titik termasuk di jalanan protokol terendam banjir. “Intinya kami bertanggung jawab. Pemprov DKI mengambil sikap bertanggung jawab atas masalah yang sekarang muncul. Kami respons cepat bantu tangani,” kata Anies di kawasan Latuharhary, Jakarta Pusat, Rabu (1/1/2020).
Pagimane kalau sudah begini? Ampir tiap gubernur belum bise atasi banjir.
Banjir ibu kota tentu saja menjadi komoditas politik yang gurih-gurih nyoi. Cenderung konyol bagi yang asal bekoar.
Jika kau tak suka gubernur yang ini salahkan saja itu karena dia, itu jauh lebih mudah daripada kau mau melihat seberapa berjaya gubernur kesayanganmu mengatasi banjir sebelumnya. Saya hanya suka ini tak suka lainnya, jika itu sudah ada dalam benakmu, maka selesailah diskusi itu. Karena engkau tak tahu apa-apa selain orang tahu kau asal tak suka aja.
Fanatisme buta membuat persoalan banjir tidak akan bisa kau mengerti, jangankan hulunya, udiknya udik pun kau tak akan bisa paham. Bahkan kalaupun banjir semata kaki kau akan sebut itu kemana-mana sebagai banjir yang menggelamkanmu bahkan harga dirimu juga langit runtuh karenanya, supaya terdengar sah ketaksukaanmu.
Bahkan warga Tangerang ikut kesal pada Gubernur Jakarta, bukan kritisi wali kotanya atau Gubernur Banten. Warga Bekasi dan Bandung kesal juga, bukan mengkritisi dan menggugat Gubernur Jawa Barat. Ikut marah pula ke Jakarta. Kritis ke Jakarta lupa protes kepala daerahnya sendiri. Bahkan yang tak terdampak banjir di provinsi lain, ikut marah pula.
Jika kelian tak suka Anies, hati-hati, kebencian kalian itu bisa membuat Anies tambah melambung tinggi. Menjadi terus diperhatikan. Menjadi fokus pembicaraan. Jangan kaget satu hari ia akan menyusul gubernur sebelumnya melenggang ke Istana. Kalian para pembenci yang mengantarkannya.
Daripada ngotot makin tidak karuan. Jawab pertanyaan ini, “Apa yang sudah ente lakukan untuk Jakarta?” Tetangga kebanjiran maukah menampung mereka? Warga lain kecamatan mengungsi sudahkah mengirimkan makan untuk mereka? Anak-anak dan perempuan butuh pakaian, sudahkah kau berikan? Telah kau sisihkan uang rokok dan kuotamu untuk bersama-sama belikan obat-obatan yang mereka perlukan?
Sudahkah kau gulung lenganmu mengangkat baskom nasi ke tengah mereka yang kebanjiran? Sudahkah kau ceburkan kakimu ke air menggenang itu untuk melihat mereka yang masih bertahan di rumah yang setengahnya tenggelam?
Jika belum kau lakukan. Jangan banyak cakap. Tak ada gunanya sumpah serapahmu, tak bisa meringankan rasa lapar korban banjir, tak bisa meredakan dingin yang menembus tulang mereka. Tak dapat menghibur kesedihannya.
Apalagi dikau yang masih buang sampah semaunya. Tak pantas bicara banjir. Kau salah satu penyebabnya, tak beda dengan tikus gorong-gorong. Kau penyumbang duka orang-orang itu. Kalian harus pula bertanggung jawab bahkan untuk satu kulit permen dan satu gelas plastik yang kau buang sembarangan ini hari.
Jakarta, Pondok Labu, 01012020
SDA