Media Harus Berperan Rawat Kebhinnekaan

by -
Kampus Universitas Gajah Mada Yogyakarta

SEMANGAT YOGYAKARTA – Media massa diminta berperan signifikan dalam merawat kebhinnekaan di Indonesia. Pasalnya, media massa dapat memberikan informasi komprehensif tentang suatu perbedaan di masyarakat melalui pemberitaan yang disajikan.

“Menguatnya sikap anti toleransi di kalangan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini perlu diantisipasi dengan pemberitaan berimbang dan komprehensif dari media massa daerah dan nasional,” ujar Peneliti dari Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Evan Sapentri dalam siaran persnya saat Diskusi Publik, di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu (13/05/2017).

Sebagai salah satu pilar demokrasi, kata dia, media massa berperan besar dalam memberikan informasi edukasi kepada masyarakat. Khususnya dalam hal multikulturalisme, upaya mendorong masyarakat untuk berani menghargai perbedaan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, perlu terus dilakukan secara konsisten.

Melalui media massa yang ada saat ini, lanjutnya, baik media konvensional maupun media online dan media sosial, upaya edukasi mutlak diperlukan untuk mewujudkan masyarakat yang saling menghormati dan menghargai perbedaan.

Ia menambahkan, bahwa pada kaki Garuda tertulis kalimat penting, Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti meski berbeda tetap satu jua. Dan hal ini telah menjadi prinsip bersama yang harus dijaga seluruh masyarakat.

“Dalam hal ini media massa berperan signifikan. Khususnya di era yang menuntut masyarakat untuk melek teknologi, namun juga mampu memaknai kebhinnekaan itu sendiri secara benar. Jadi media massa bukanlah sarana untuk melakukan provokasi yang merobek kebhinnekaan,” tandas Evan.

Oligarki Media

Hal senada dikatakan oleh Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia Sri Handiman yang menilai, media massa masa kini semakin sulit diharapkan untuk mampu menjaga kebhinnekaan di Bumi Pertiwi. Pasalnya, kata dia, kepemilikan media saat ini hanya berada pada sekelompok kecil pengusaha.

“Artinya tanpa pembatasan yang tegas dari pemerintah, maka seorang pengusaha dapat menggiring opini sesuai kepentingannya melalui media miliknya. Hal itu tentu berdampak negatif bagi content pemberitaan yang disampaikan oleh medianya,” papar Handiman.

Karena itu, lanjut dia, pembahasan revisi tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di parlemen saat ini, sebaiknya mempertegas tentang kepemilikan media. Sehingga, sekelompok masyarakat tertentu untuk melakukan praktik monopoli kepemilikan media di Indonesia, dapat dihindari.

“Seharusnya, setiap pemilik media tidak menguasai opini publik melalui pemberitaan media-media yang dimilikinya. Dengan kondisi seperti ini, maka media massa diyakini mampu menjaga kebhinnekaan secara proporsional,” ungkap Handiman.

Intinya, lanjut dia, media massa akan mampu menjaga kebhinnekaan jika aturan main yang diterapkan pun dikondisikan sesuai aturan yang berlaku.

“Pilihannya adalah, kita mau menjaga kebhinnekaan atau faktor ekonomi semata. Sebab, dengan membebaskan kepemilikan media kepada hanya segelintir pengusaha kaya, maka sebenarnya kita tengah menuju perpecahan serius yang dilakukan oleh pemberitaan media tertentu,” tandas dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.