SEMANGAT JAKARTA – Kebijakan parlemen Uni Eropa yang melarang ekspor minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) ke Uni Eropa berdampak pada menurunnya penerimaan negara. Padahal ekspor CPO merupakan salah satu andalan bagi pemasukan negara.
Direktur Kajian Ekonomi Agroindustri Indonesia Development Monitoring (IDM) Ferdinand Situmorang mengatakan larangan ini sebagai bentuk kinerja buruk Siti Nurbaya Bakar, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI.
Siti dituding gagal menghalangi kebijakan tersebut akibat tak mampu membuat industri sawit dalam melawan kampanye hitam yang dilakukan LSM-LSM lokal dan luar negeri terhadap industri sawit Indonesia.
“Akhirnya menyebabkan parlemen Uni Eropa menuduh industri sawit Indonesia banyak pengrusakan hutan, memperkerjakan anak-anak, marak prateknya korupsi dalam pengadaan lahan sawit serta, pelanggaran HAM,” kata Ferdinand melalui siaran pers, Kamis (20/4/2017).
Selain itu, menurut dia, kebijakan itu akibat Siti gagal melakukan sosialisasi dan pendataan kalau area kebun sawit tidak masuk katagori hutan tapi masuk Area Penggunaan Lain yang sudah tidak masuk area hutan lindung atau kawasan budidaya kehutanan.
Presiden Jokowi diminta supaya tidak menganggap enteng persoalan larangan ekspor CPO oleh Uni Eropa, karena hal ini akan berdampak buruk pada perekonomian di daerah. Apabila Harga TBS bisa turun bisa mempengaruhi pendapatan petani sawit.
“Harus ada evaluasi khusus kepada Menteri Kehutanan dan LH akibat larangan ekspor ini dan evaluasi terhadap dana dana BPDP yang katanya digunakan untuk promosi produk sawit Indonesia,” pintanya.
Kurangnya penerimaan negara kata Ferdinand akan mempengaruhi Dana Alokasi Umum ke daerah daerah. Dengan demikian akan mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2018 sebesar 5,6 persen.
“Jelas akan menghambat pertumbuhan Ekonomi Indonesia mencapai 5,6 karena minimnya Dana Alokasi Umum,” tandas Ferdinand. (RRI)