Oleh: Awaluddin Awe
(Pengamat Dinamika Pilpres)
Saya termasuk suka mencermati dinamika politik pribadi Capres Jokowi. Lima tahun lalu, saya bersama sama teman di Jakarta, sempat melakukan pekerjaan politik utk Jokowi. Tetapi faktanya Jokowi kalah telak di Sumbar.
Saya mencoba menelusuri sukses besar Prabowo di Sumbar. Salah satu faktanya adalah, karena ketidaksukaan masyarakat atas performance pribadi Jokowi.
Secara individu performance Jokowi memang tidak masuk menjadi figur kepala negara. Sebab orang Sumbar suka dgn kepala daerah yg berpenampilan. Sebutlah seperti SBY dan Prbowo.
Ada filosofi orang Minang dalam memilih pemimpinnya, yakni takah, tokoh. Takah artinya dekat dgn soal gagah dan ganteng. Dalam posisi ini Jokowi harus diakui ketinggalan dibandingkan SBY dan Prabowo.
Lalu Tokoh, dalam hal ini artinya mencerminkan sosok seorang tokoh, dalam kapasitas pemimpin. Sementara sosok Jokowi dianalogikan tidak memenuhi sosok ketokohan yg diharapkan.
Padahal, dalam perjalanan pemerintahannya, figur Jokowi cukup dihargai oleh sejawatnya di kawasan regional dan internasional. Bahkan di kalangan pemerintahan dan lembaga negara sangat dihargai.
Alasan kedua, orang Sumbar tidak suka dengan politik baju merah. Sejak zaman saisuak. Apalagi ada dalam catatan sejarah buruk pemerintahan Soekarno yg terlibat dalam PKI. Sebab itu, orang Sumbar tidak ingin, pemerintahan Jokowi yg didukung PDIP.
Keberadaan ayah Prabowo, Soemitro Djoyohadikusumo di era perlawanan politik orang Minang terhadap pemerintah pusat (PDRI) memberi andil besar terhadap kemenangan Prabowo. Apalagi, salah satu perusahaan adik Prabowo, ada di salah satu kabupaten di Sumbar. Jadi ada jejaring bisnis yg juga ikut membantu memenangkan Prabowo.
Tesis politik tentang kemungkinan masih berpeluangnya Prabowo memenangkan Pilpres di Sumbar masih sangat terbuka. Apalagi dengan banyaknya isu yg dianggap negatif oleh calon pemilih di Sumbar yg menimpa Jokowi. Termasuk dalam menetapkan cawapres gaek Ma’ruf Amin terakhir ini. Orang Sumbar menilai negatif menempatkan ulama seumur MA menjadi cawapres.
Tetapi ada sedikit perubahan situasi dukungan terhadap Jokowi sejak beberapa waktu terakhir. Kegemaran Jokowi berkunjung ke Sumbar mulai membuahkan hasil. Sejumlah relawan mulai agak membuka diri kepada publik. Salah satunya Solmet, solideritas merah putih, besutan aktivis nasional Silvester Matutina, orang flores tetapi berkulit sangat putih. Dia termasuk aktivis garis keras yg lima tahun lalu masuk barisan Jokowi. Di Padang Solmet dipimpin Bob Jr.
Ada puluhan relawan Jokowi bertumbuhan di kota Padang dan rantau. Populasinya tidak besar, tetapi sudah berani pasang badan membela Jokowi. Malahan diantaranya menyewa kantor cukup mencolok. Kabarnya, saat Jokowi ada acara Tabuik di Pariaman mereka akan muncul di lapangan, dimana Jokowi berada.
Politik keadaan
Sulitnya Jokowi menanamkan pengaruh di Sumbar tidak lebih disebabkan faktor politik keadaan semata. Keadaan Jokowi sebagai pribadi itu yg membuat dia kalah telak di Sumbar pada pilpres lalu.
Jika orang luar Sumbar menilai positif penampilan sederhana Jokowi sebagai presiden, di Sumbar disebut tidak takah sbg presiden.
Jika Jokowi turun langsung masuk got, orang Sumbar mengatakan bukan itu pekerjaan seorang presiden.
Saat Jokowi memakai pet meresmikan lagalaga di Parit Malintang, Padang pariaman, tiga tahun lalu, Jokowi dikritik tidak mengevaluasi dulu objek yg akan diresmikannya. Tetapi kita tidak tau apa alasan tim istana membiarkan Jokowi hadir di peresmian laga laga itu.
Pada saat meresmikan revitalisasi 1000 rumah gadang di Solok Selatan, Jokowi juga diolok olok dgn berbagai cimeeh.
Artinya, memang masih sulit bagi Jokowi utk mengambil simpati orang Minang.
Bola bundar itu sepertinya masih milik Prabowo dan, sekarang bersama Sandiaga Uno. Itu pandangan saya.