*Power Wheeling Untuk Kepentingan Siapa!?*
Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi, Research Associate, Beppenas, Alumni FE-UGM dan Bayreuth Universitat, Germany
Satu-satunya suara fraksi dari partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang menolak secara tegas klausul *tumpangan jaringan daya* (power wheeling) ke BUMN PLN dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbaharukan (RUU EBET), adalah Partai Keadilan Sejahtera. Artinya, selain fraksi PKS, maka fraksi lain masih punya muatan kepentingan (conflict of interest) atas klausul dimaksud yang sebenarnya perlu dipertanyakan motifnya. Sebab, rasanya tidak mungkin para wakil rakyat tersebut tidak memiliki pengetahuan atas beratnya beban BUMN PLN, jika klausul itu menjadi materi Pasal yang disahkan nanti dalam.UU EBET.
Apalagi dengan pemerintah cq. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), khususnya Menteri ESDM Arifin Tasrif tentulah sangat paham soal klausul power wheeling yang sejak awal tidak dimasukkan ke Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET. Selain telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) pada Desember 2016 yang membatalkan Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 11 ayat 1 UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, khususnya terkait kewenangan penyediaan listrik bagi masyarakat. Putusan MK ini menjadi norma hukum kuat bagi larangan pihak swasta mengambil alih sektor ketenagalistrikan dari hulu sampai ke hilirnya.
Konsekuensinya, dengan demikian aturan turunannya, termasuk Permen ESDM No. 1/2015 dan No. 11/2021 terkait klausul pemberian izin pengelolaan listrik kepada pihak selain negara telah batal demi hukum konstitusi dan harus dicabut. Namun, terkait dua klausul yang sudah dicabut KESDM dalam DIM RUU EBET pada 24 Januari 2023, justru dimasukkan lagi pada bulan Nopember 2023 saat rapat bersama DPR RI (Komisi VII), yaitu terkait klausul pembentukan Badan Usaha Khusus EBT dan Power Wheeling. Kalau ini terus dilakukan jelas melanggar atau “melawan” Putusan MK dan tentu saja konstitusi Pasal 33 UUD 1945.
Lalu, ada apakah gerangan dengan telah bersepakatnya lembaga eksekutif dan legislatif terhadap dua klausul yang akan menggerogoti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) di masa depat tersebut? Jika, RUU EBET merupakan bahagian dari komitmen pemerintah sebagai tindak kebijakan melakukan transisi energi yang telah menjadi isu dunia terkait adanya krisis energi fosil sehingga perlu membangun energi yang bersih serta ramah lingkungan tentu haruslah disikapi secara proporsional dan rasional. Sebab, disatu sisi PLN sebagai BUMN telah memiliki 50 unit lebih pembangkit listrik yang masuk kategori energi terbaharukan, diantaranya merupakan unit Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan 70 unit lebih Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Disisi yang lain, menurut Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, bahwa kemajuan (progress) kelanjutan megaproyek pembangkit listrik 20.000 megawatt (MW) yang digagas sejak tahun 2004 oleh pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla (JK) serta dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejumlah 35.000 MW memang mengalami pengunduran sasaran (target) penyelesaian. Menurut catatan PLN, sampai dengan saat ini, proyek pembangkit listrik 35.000 MW atau 35 gigawatt (GW) yang telah berjalan mencapai sekitar 60 persen lebih atau sekitar 22-23 GW yang sudah tersedia, dan dalam pengawasan (commissioning). Perkembangan ini telah disampaikan oleh Dirut PLN saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI pada Kamis 7 Juni 2023. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan konsumsi listrik yang meleset dari yang proyeksi awal pemerintah.
Alhasil, sistem kelistrikan PLN mengalami kelebihan pasok atau oversupply karena pertumbuhan permintaan beban cukup timpang dibandingkan dengan masuknya tambahan pasokan listrik. Ketimpangan (gap) antara pasokan listrik yang disediakan sebagian besar oleh pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP). Hal ini juga telah direnegosiasi dengan sejumlah kesepakatan jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) terhadap skema Take or Pay (TOP) untuk mengatasi kondisi oversupply listrik agar tak membebani keuangan PLN. Kalau kondisi keuangan yang terbebani ini terus berlanjut tentu saja akan berpengaruh kepada APBN, khususnya terkait alokasi subsidi listrik konsumen kelompok tidak mampu.
Selanjutnya, wajar publik bertanya setelah melakukan renegosiasi skema TOP itu untuk kepentingan apa dan siapakah sebenarnya kengototan DPR RI dan KESDM terus melanjutkan pembahasan RUU EBET, khususnya klausul badan khusus dan power wheeling? Bukankah nanti juga akan membebani keuangan PLN jika kondisi permintaan konsumsi listrik tidak mengalami perubahan atau menìngkat. Apabila dua klausul ini terus dilanjutkan, tentu saja kondisi rendahnya konsumsi listrik dan beban keuangan PLN akan berimplikasi pada terjadinya perubahan Tarif Dasar Listrik (TDL). Dan, hal ini akan merugikan posisi masyarakat sebagai konsumen listrik yang loyal dilayani oleh PLN selama ini dan jika berpindah ke tangan korporasi swasta bisa saja takkan beroleh subsidi lagi.
Atau adakah kengototan ini yang “dikejar” oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada bulan Februari 2014 dan oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri dengan menggeledah kantor Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM pada 4 Juli 2024 yang baru lalu? Yang jelas, publik berharap atas apapun yang terjadi dengan RUU EBET dan klausul badan khusus serta power wheeling jangan sampai mengakibatkan beban masalahnya dipindahkan kepada PLN sebagai BUMN pemegang mandat konstitusi ekonomi UUD 1945 dan masyarakat sebagai konsumen. Semoga Presiden Joko Widodo melalui KESDM dan DPR RI bijaksana mengambil sikap atas permasalahan dan dampak dipaksakannya dua klausul itu dalam RUU EBET.