Ekonomisasi Pendidikan Bukan Demi Kebangkitan Nasional!:Oleh Defiyan Cori/
Ekonom Konstitusi
Hari ini, 20 Mei 2024 tepat 116 tahun bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas, 20 Mei 1908) yang dikenal sebagai tonggak sejarah “perlawanan” para pejuang dan pendiri bangsa (founding father) atas penjajahan (kolonialisme) oleh kalangan terdidik. Mirisnya hati kita, justru dibulan Mei yang bersejarah ini salah seorang pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tiba-tiba menyampaikan pernyataan lebih buruk dari penjajah Belanda, bahwa pendidikan tinggi bukanlah kebutuhan dasar atau pokok melainkan kebutuhan tersier (yang bersifat mewah). Sungguh, sebuah pernyataan yang tidak saja jauh dari contoh sikap seorang pejabat pemerintahan yang berpendidikan, namun juga mengkhianati jasa para pahlawan pendidikan dan melukai perasaan para orang tua yang bercita-cita memasukkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi.
Tidak salah kemudian, reaksi Mahasiswa diberbagai Perguruan Tinggi tiba-tiba menjerit oleh adanya kenaikan UKT yang melejit! Kenapa tiba-tiba para mahasiswa begitu tersentak oleh kenaikan UKT atau istilah lamanya SPP ini? Padahal, mahalnya memperoleh pendidikan diberbagai jenjang pendidikan (bahkan dasar dan menengah) telah lama terjadi pasca reformasi yang dipelopori juga oleh gerakan kampus. Lalu, apa artinya gerakan reformasi yang telah bersusah payah dan menimbulkan korban jiwa diperjuangkan dulu sampai menurunkan Presiden Soeharto kala itu yang telah dipilih rakyat melalui mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)? Maka, soal ini harus dikembalikan kepada insan akademik yang berada di lingkungan ilmiah dan ditinggikan derajatnya dibanding masyarakat di luar kampus.
Namun, apakah soal pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi memang hanya melulu urusan insan akademik yang terkenal keilmiahannya untuk mencari nafkah penghidupan atau tanggungjawab negara melalui pemerintah? Yang lebih parah dan membuat prihatin adalah munculnya pernyataan dari seorang pejabat Kemendikbud Ristek tersebut, yaitu: pendidikan di Perguruan Tinggi itu kebutuhan tersier bukan sekunder apalagi primer. Sementara, Presiden dikesempatan lain kaget, bahwa ternyata rasio pendidikan tinggi kita jauh di bawah negara Vietnam, Malaysia dan negara asia lainnya. Mengapa tidak sinkron pernyataan pemimpin dengan para pembantu atau pejabat yang mengurusi pendidikan? Sudah sepantasnyalah pejabat yang bersikap dan perilaku seperti itu tidak perlu mendapat tempat dijajaran kementerian/lembaga karena tidak memahami makna alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dan filosofi pendidikan yang bukan merupakan komoditas sehingga kebijakan menaikkan UKT dianggap wajar!
Lalu, apakah itu UKT yang diprotes kenaikannya oleh para mahasiswa dan apa bedanya dengan SPP diera pemerintahan Orde Baru?
Setiap mahasiswa atau calon mahasiswa yang akan mengenyam pendidikan tinggi, salah satu hal yang harus dipersiapkan sebelumnya adalah UKT atau uang kuliah tunggal. Sebenarnya, UKT adalah bentuk lain dari SPP yang dulu dikenal akronim dari Sumbangan Pembinaan Pendidikan atau iuran rutin sekolah yang mana pembayarannya dilakukan secara periodek. SPP merupakan salah satu bentuk kewajiban setiap siswa/mahasiswa yang masih aktif disekolah tempat mereka menempuh pendidikan. Dari istilah ini, jelas sekali perbedaan terminologi UKT dan SPP.
Sebagaimana SPP yang juga dibayarkan per semester, maka UKT yang juga merupakan biaya perkuliahan wajib dibayarkan oleh mahasiswa di setiap semester. Permasalahan UKT ini mencuat setelah salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, di Provinsi Jawa Tengah menaikkan biaya UKT-nya dan kemudian muncul protes dari para mahasiswa. Pertanyaan yang muncul bagi publik tentu saja adalah apa alasan PTN menaikkan UKT-nya dan untuk kepentingan apa dan siapa kenaikan UKT tersebut? Benarkan civitas akademika di PTN kekurangan dalam melakukan penyelenggaraan pendidikan pasca UUD 1945 menyedikan porsi anggaran sebesar 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan.
Sepertinya, UKT tidak lagi sama sifatnya dengan SPP yang merupakan iuran dengan kenaikan yang sekonyong-konyong menjulang tinggi. UKT sudah diposisikan setara dengan harga komoditas oleh kalangan perguruan tinggi untuk memungut uang atau menghimpun dana besar dari para mahasiswa atau calon mahasiswa. Dan, kalau sudah disamakan posisinya sebagai sebuah komoditas barang/jasa, maka penyesuaian harga atau UKT harus diberlakukan sebagaimana produk/barang/jasa yang diperjualbelikan di pasar. Dengan berbagai kasus korupsi yang mendera perguruan tinggi atas oknum Rektornya, maka dapat diduga kuat bahwa telah terjadi ekonomisasi dalam dunia pendidikan. Publik atau para orang tua tentu akan lebih berat bebannya apabila UKT di PTN sampai Rp120.000.000 berapakah yang akan dibayarkan untuk Perguruan Tinggi Swasta, tentulah tidak lebih rendah atau kecil.
Aneh bin ajab lagi, adalah sikap dari otoritas pendidikan yang menanggapi kasus kenaikan UKT itu justru tidak menyelesaikan masalah mahasiswa. Mengutip pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie yang menyampaikan, bahwa pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Alasannya, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional. Artinya, 20 persen alokasi anggaran untuk sektor pendidikan belum cukup juga!? Sementara, berbagai gaji dan tunjangan para guru dan dosen telah layak serta lebih dari cukup. Oleh karena itu, mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigatif dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Kemendikbud Ristek atas terjadinya kekurangan anggaran pendidikan tersebut. Sebab, tidak kurang dari Rp600 triliun telah dialokasikan bagi sektor pendidikan dalam APBN setiap tahunnya.
Last but not least, teruslah berjuang para mahasiswa Indonesia untuk melawan kebijakan yang menindas dan tidak masuk akal sesuai perintah Pancasila dan UUD 1945 serta jangan merusak! Dan, Selamat Memperingati Hari Kebangkitan Nasional kepada seluruh warga bangsa, Bangkitlah Pendidikan Bangsaku dengan memanusiakan manusia. Dan, ekonomisasi pendidikan yang terjadi dan berkembang luas saat ini bukanlah demi kebangkitan nasional, melainkan untuk kebangkitan ekonomi orang per orang atau sekelompok orang yang harus ditolak!