(Sebuah catatan etik atas keputusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi/MKMK)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 tahun 2023 (PMK 90/2023) tentang perubahan batasan minimal usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) mengundang polemik publik! Setelah adanya perubahan klausul usia minimal melalui Putusan MK tersebut lalu dideklarasikanlah Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Koalisi Indonesia Maju (KIM) berpasangan dengan capres Prabowo Subianto. Dengan melihat komposisi opini masing-masing hakim MK, sebenarnya Putusan MK nya hanya mengizinkan secara hukum usia 35 tahun yang menjabat sebagai Gubernur, bukan Walikota. Tetapi, kenapa MK justru mengambil Putusan mengesahkan secara umum perubahan batas usia minimal capres-cawapres, ada apa?
Tentu saja, publik memandang adanya konflik kepentingan (conflict of interest) pada sosok Ketua MK Anwar Usman yang juga secara kekerabatan adalah paman Gibran Rakabuming Raka. Dalam konteks inilah kemudian diselenggarakannya Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode pertama, 2003-2008. Rencananya MKMK akan mengambil keputusan etiknya pada tanggal 7 Nopember 2023 disore harinya, yangmana dalam posisi MKMK *tidak bisa membatalkan* PMK 90/2023 yang melapangkan jalan keponakan Ketua MK menjadi cawapres. Sebabnya adalah Putusan MK itu final and binding atau terakhir dan mengikat. Benarkah pelanggaran etik tidak bisa diubah disebabkan oleh adanya konflik kepentingan orang-orang yang mengambil Putusan MK-nya?
Kalau melihat rekam jejak Putusan-Putusan MK, sejatinya ada preseden konstitusi juga terkait kebijakan hukum terbuka (open legal policy) melalui uji materi soal syarat minimal persentase suara raihan partai politik untuk bisa mengajukan capres (Presidential Threshold), dan saat itu Putusan MK menolak untuk mengubah PT 20 persen. Alasan para hakim MK, yaitu perubahan klausul itu bukan kewenangan MK tetapi merupakan hak legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat UU. Konsistensi MK ternyata tidak terjadi pada kasus PMK 90/2023 yang mana justru keluar dari garis kewenangannya yang tidak boleh mengubah klausul dalam UU. Ini jelas merupakan pelanggaran etik yang sangat keras, apalagi dengan komposisi suara hakim MK yang tidak mutlak dalam pengambilan keputusannya.
Oleh karena itu, adanya posisi hakim MK yang memiliki konflik kepentingan hubungan kekerabatan (nepotisme) serta tidak mutlaknya pandangan hakim MK atas PMK 90/2023, jelas tidak dapat dinyatakan memenuhi unsur sifat terakhir dan mengikat (final and binding) serta cacat konstitusional! Tidaklah tepat sifat terakhir dan mengikat (final and binding) dalam kasus PMK 90/2023 itu disebabkan adanya kerusakan prosedur, kewenangan dan etik pada sebagian hakim MK yang harus menjunjung tinggi etika, moral dan independensi (kemandirian) hakim yang mulia. Maka itu, perubahan Putusan MK yang tidak menerapkan azas proporsionalitas dan konsistensi kewenangan dalam kasus PMK 90/2023 itu tidak bisa disebut terakhir dan mengikat! Pada posisi inilah sebenarnya sifat terakhir dan mengikat yang terdapat pada PMK 90/2023 juga cacat hukum dan jika dibiarkan akan berdampak atas konsistensi sikap dan meluasnya kewenangan MK dalam konteks open legal policy untuk menangani kasus yang sama dikemudian hari.
Disamping itu, polemik akan semakin tajam terkait kewenangan dan konsistensi MK jika MKMK tidak membatalkan PMK 90/2023 yang tetap dinyatakan final and binding. Pasalnya, publik tentu mempertanyakan kemendesakan pembentukan MKMK apabila tidak membatalkan PMK 90/2023 yang jelas dan nyata melanggar konsistensi sikap dan pelanggaran kewenangan dengan mengubah klausul UU secara kelembagaan. Jika dibiarkan tidak adanya sangsi pada hakim MK dan Putusan MK tidak dibatalkan oleh MKMK, maka kepercayaan publik akan luntur dan runtuh pada lembaga Mahkamah Konstitusi, tentu hal ini tidak kita inginkan. Semoga Ketua MKMK dapat mengambil keputusan etik atas pelanggaran ini secara adil dan bijaksana dengan mengacu pada prinsip negara hukum dan hukum bagi semua! Lagipula yang tidak bisa dibatalkan hanya Putusan Tuhan Yang Maha Esa, manusia tempatnya salah!
Penulis adalah Ekonom Konstitusi dan alumnus Summer Course Economic and Constitutional Law, Bayreuth Universitat, Germany.