Ganjar-Mahfud dan Pengkhianat: Oleh
Dhimam Abror Djuraid
Setelah menunggu lama akhirnya PDIP mengumumkan Mahfud MD sebagai cawapres mendampingi Ganjar Pranowo, Rabu (18/10). Pasangan ini bisa disebut sebagai paket komplet, karena saling melengkapi dan mengisi. Meski demikian, tidak ada unsur kejut yang muncul dari pengumuman pasangan ini, karena publik sudah menduga nama yang muncul tidak bakal jauh dari nama-nama yang beredar.
Dibanding dengan pengumuman pasangan Amin, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, yang penuh drama, pengumuman cawapres kali ini bisa dibilang datar kalau tidak hambar. Tidak ada drama, dan tidak ada kontroversi. Semuanya terlihat rata dan mulus.
Pengumuman Muhaimin sebagai pasangan Anies bisa disamakan dengan drama transfer pemain sepak bola dari dua klub yang berseteru. Anda yang menggemari sepak bola bisa membayangkan transfer Imin ke kubu Anies seperti transfer pemain Barcelona ke Real Madrid di Liga Spanyol, atau pemain Manchester United ke Manchester City, atau pemain AC Milan ke Inter Milan.
Dua klub di masing-masing kompetisi itu dikenal sebagai musuh bebuyutan. Klub-klub itu punya suporter fanatik yang rela mati untuk membela klubnya. Saking fanatiknya, mereka sampai mengharamkan pemainnya berpindah ke klub lawan. Kalau itu terjadi maka sang pemain akan diserang habis-habisan, sampai ada yang diancam bunuh, dan dicap sebagai pengkhianat.
Salah satu contoh adalah ketika Luis Figo, pemain Barcelona, pindah ke Real Madrid pada musim kompetisi 2000. Ketika itu Figo ialah bintang dan sekaligus kapten tim Barcelona. Kepindahan ke rival abadi Real Madrid tidak terbayangkan. Tetapi, ada Florentino Perez, presiden Real Madrid yang menawarkan transfer raksasa 62 juta euro yang menjadi rekor transfer termahal dunia.
Barcelona tidak kuasa menolak. Figo pun pindah ke Madrid. Suporter Barcelona murka dan mengutuk Figo sebagai pengkhianat. Ketika terjadi El Clasico, pertandingan klasik Barcelona vs Real Madrid, Figo mendapatan sambutan horor dari suporter Barcelona. Ketika mengambil tendangan penjuru Figo dilempar kepala babi sebagai simbol pengkhianatan.
Transfer Imin ke kubu Anies tidak sepenuhnya sama dengan kasus Figo. Tapi dramanya tidak kalah dengan transfer itu. Kepindahan Imin yang mendadak itu membuat shock partai koalisi Prabowo, dan deklarasi Anies-Amin yang mendadak membuat Partai Demokrat hengkang dari kubu Anies. Sama dengan Luis Figo, Anies dianggap sebagai pengkhianat dan dicaci maki oleh Partai Demokrat.
Dari perspektif publikasi, drama ini sangat menguntungkan bagi kubu Anies, karena serial drama itu berlanjut sampai beberapa minggu. Drama menjadi semakin menegangkan karena Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-6, ikut menjadi aktor yang memainkan peran watak yang meyakinkan. Lengkaplah sudah drama transfer ini. Drama transfer Figo kemudian dijadikan film oleh Netflix. Drama transfer Imin juga layak menjadi film layar lebar, terutama nanti ketika pasangan Amin bisa menang dalam pilpres 2024.
Transfer Mahfud MD datar dan hambar jika dibandingkan dengan transfer Imin. Tetapi, transfer Mahfud sebenarnya tidak kalah menegangkan, meskipun tidak banyak diungkap ke permukaan. Mahfud MD sangat mungkin tegang karena ia pernah menjadi bagian dari drama pada pilpres 2019. Ketika itu Mahfud sudah bersiap-siap untuk mengikuti deklarasi sebagai pasangan Jokowi. Tetapi, pada detik terakhir namanya dicoret dan digantikan oleh Ma’ruf Amin. Kali ini Mahfud bisa bernafas lega, karena dia lolos dari drama PHP seperti kasus 2019.
Kendati terlihat tenang di permukaan, tetapi di balik transfer Mahfud ada drama yang mungkin jauh lebih besar ketimbang drama transfer Imin. Salah satu yang menjadi pertanyaan adalah tidak munculnya Joko Widodo dalam acara pengumuman pencawapresan Mahfud MD.
Memang Jokowi tengah berada di luar negeri untuk kunjungan kenegaraan. Tetapi, hal itu tidak menjawab pertanyaan, malah memantik lebih banyak pertanyaan lagi, yaitu mengapa PDIP tidak merasa perlu menunggu sampai Jokowi balik ke tanah air? Faktor Jokowi inilah yang menjadi drama tersembunyi di balik perhelatan ini.
Sehari sebelumnya, Jokowi menjadi sasaran hujatan, karena munculnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapes. Jokowi dianggap berada di balik keputusan kontroversial itu. Seperti biasanya, Jokowi mengelak dari semua tuduhan itu. Keberadaannya di luar negeri menjadi alibi untuk membersihkan dirinya.
Keputusan PDIP yang tidak menunggu Jokowi balik ke Indonesia bisa diterjemahkan sebagai sikap tegas—meskipun berat—dari PDIP kepada Jokowi. PDIP memutuskan untuk menilap Jokowi dan sekaligus menunjukkan kepada publik bahwa PDIP sudah melepas Jokowi untuk bergabung ke kubu lain. Ibarat transfer pemain sepak bola, kasus Jokowi ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dramanya akan jauh melewati drama transfer Luis Figo.
Absennya Jokowi dari acara PDIP menjadi pertanda yang lebih jelas akan keretakan Megawati dengan Jokowi. Selama ini keretakan itu ditutup-tutupi. Tetapi kali ini tidak bisa disembunyikan lagi. PDIP sudah melepas Jokowi untuk bergabung dengan kubu Prabowo Subianto. Publik tinggal menunggu apakah Gibran Rakabuming akan menjadi cawapres Prabowo. Jika hal itu terjadi maka Megawati dan Jokowi akan resmi pecah kongsi.
Luis Figo dituduh sebagai pengkhianat. Tapi sampai sejauh ini belum ada yang berani menuduh Jokowi sebagai pengkhianat. Beberapa waktu yang lalu Prananda Prabowo, anak Megawati Soekarnoputri merilis lagu ‘’Pengkhianat’’. Kendati liriknya keras, tapi tidak jelas ditujukan kepada siapa. Ada yang berspekulasi bahwa lagu itu ditujukan kepada Jokowi, tetapi Prananda tidak pernah memberi keterangan resmi mengenai hal itu. Mungkin sekarang lagu itu bisa lebih mengarah kepada Jokowi.
Pengkhianatan dalam politik adalah hal yang biasa terjadi. Tidak ada pertemanan yang abadi dalam politik. Yang ada hanyalah kepentingan abadi. Orang kuat seperti Soeharto dikhianati oleh orang-orang dekatnya pada 1998. Bung Karno di masa akhir kekuasaannya pada 1965 juga dikhianati oleh orang-orang dekatnya.
Tidak ada yang aneh jika sekarang Megawati dikhianati oleh orang dekatnya. Sejarah selalu berulang, dan kita tidak pernah benar-benar belajar darinya. Mengutip Hegel, satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah, kita tidak benar-benar belajar darinya. ()