Polemik Rempang Hari Ini: Saat Negara Menjajah Rakyatnya Sendiri
Oleh Melki Sedek Huang/Ketua BEM UI 2023
Kejadian demi kejadian yang kini tengah terjadi di Rempang adalah amat memilukan bagi saya. Perampasan lahan, penggunaan kekerasan, dan praktik ketidakadilan tengah mereka alami dengan luar biasa hebatnya akibat dari tingkah pongah negara melalui organ-organnya yang tak sedikit pun berperikemanusiaan.
Pemikiran liar di sebuah siang pun membawa saya ke dalam khayalan, membayangkan saya tengah hadir dalam rapat-rapat para pendiri bangsa sebelum Indonesia menyentuh kemerdekaan. Bagi mereka yang dulu setengah mati berjuang, sudahkah realita hari ini sesuai dengan gagasan mereka tentang kemerdekaan?
Setiap buku sejarah yang mewarnai kisah sekolah anak bangsa selalu menuliskan cerita-cerita buruk tentang para penjajah. Kita disajikan kisah dari kekejian Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang yang dipaparkan berbarengan dengan kisah heroik para penentangnya.
Kita diharapkan untuk mencintai republik ini oleh karena kisah perjuangan leluhur kita dalam melawan pemerintahan kolonial yang otoriter dan merampas hak-hak masyarakat. Pergulatan di meja-meja persiapan kemerdekaan pun menuju pada kesimpulan bahwa negeri yang baru ini tak boleh menjadi sama dengan para penjajah yang dulu dengan buas menduduki tanah ini.
Nyatanya, harapan besar tersebut kini tampak seperti pungguk yang merindukan bulan. Besarnya kekuasaan negara yang dulu dirancang untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan kini malah menjadi alat yang paling ampuh untuk memperkaya segelintir pemodal dengan cara-cara yang merusak tatanan dan kesejahteraan.
Pengerahan pasukan bersenjata, penggunaan senyawa berbahaya, dan juga arahan-arahan untuk melakukan kekerasan dalam merampas lahan dan sendi-sendi hidup warga Rempang menunjukkan bahwa kekuasaan negeri ini tidak sedikit pun lebih baik dari pemerintahan kolonial. Rupa-rupanya masyarakat hanya terus memasuki siklus penjajahan dengan aktor antagonis yang berbeda.
Jika ada yang mengatakan bahwa kasus ini hanyalah perihal ketiadaan ganti rugi uang yang sepadan, maka saya akan melawan kebodohan tersebut di garis paling depan. Warga Pulau Rempang telah ada dan mengusahakan lahan-lahan di wilayah tersebut secara turun-temurun sejak 1834.
Sejak detik itu pula, struktur sosial, tatanan kebudayaan, sumber penghasilan, dan sendi-sendi kehidupan mereka menjelma menjadi satu dengan tanahnya. Ada unsur spirituil yang takkan mampu terganti walau tanah-tanah tersebut dibandrol lebih tinggi. Hal yang sama pun berlaku untuk Wadas, Pakel, dan banyak daerah konflik agraria lainnya.
Betapa ganasnya aparat penegak hukum dalam memperlakukan warga Rempang pun adalah masalah yang krusial. Intimidasi, pemukulan, penangkapan sewenang-wenang, dan penggunaan senyawa berbahaya dalam penanganan kasus Rempang adalah bentuk arogansi dan kebodohan yang dengan bangga dipertontonkan oleh aparat penegak hukum kita hari ini. Tindakan-tindakan tersebut sudah barang tentu menyalahi aturan-aturan hukum, baik konstitusi, undang-undang, hingga Peraturan Kapolri. Ini tentu menjadi unik, melihat fakta bahwa aparat penegak hukum justru menjadi kaum yang dengan bangga melanggar hukum itu sendiri.
Suku Melayu yang bermukim di Rempang telah hadir dan menempati wilayah itu sejak Indonesia masih belum ada di dalam pikiran. Begitu pun tiap kerajaan, suku, dan golongan lain di seluruh penjuru Indonesia. Mereka telah hadir sebelum Indonesia lahir dan dengan kesediaan hati menggabungkan diri menjadi Indonesia yang tentunya tak mungkin tanpa alasan.
Pernahkah kita bertanya mengapa tiap kerajaan, tiap suku bangsa, tiap golongan, dan tiap daerah mandiri yang ada sebelum Indonesia tercipta kemudian menggabungkan diri menjadi Indonesia? Bukankah kita sanggup untuk makan, minum, dan hidup berdaya dengan segala yang dimiliki sejak awal? Untuk apa dengan setengah mati kita yang majemuk ini mempertahankan Indonesia?
Tujuan dalam konstitusi adalah alasannya. Konstitusi adalah kesepakatan yang berisikan alasan-alasan untuk kita bersama-sama mempertahankan Indonesia. Konstitusi pun menjadi dasar-dasar dan mimpi-mimpi kita dalam melangsungkan Indonesia.
Konstitusi ini mengamanatkan lahirnya kesejahteraan bersama dan pelindungan hak-hak setiap warga negara, bukannya penindasan hak-hak masyarakat adat untuk menghadirkan kesejahteraan segelintir orang.
Metode kita dalam mencintai negeri ini tentu takkan cukup dengan kampanye “NKRI Harga Mati” ataupun dengan bombardir semangat nasionalisme sejak pendidikan dasar. Metode kita dalam mencintai negeri ini harusnya adalah dengan menjamin kesepakatan itu terlaksana agar Indonesia mampu kita pertahankan.
Ancaman yang kini tengah terjadi di Rempang bukanlah sekadar ancaman bagi warga Rempang. Ini merupakan ancaman besar bagi masa depan dan keutuhan nilai-nilai berbangsa.
Konstitusi adalah jaring pengaman dari seluruh tantangan masa depan. Tak peduli apa pun buruknya kemajuan, tak peduli apa pun tindakan buruk yang mengancam, konstitusi akan hadir untuk melindungi tiap warga negara sesuai kesepakatan yang tertera.
Penerapan konstitusi yang baik takkan merampas lahan-lahan warga, penerapan konstitusi yang baik takkan membunuh dan menyiksa orang tak berdosa, penerapan konstitusi yang baik takkan memenjarakan pikiran dan menjamin hadirnya kebebasan.
Sehingga, masalah Rempang adalah masalah bersama. Semua yang masih bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu dalam Indonesia tak boleh membiarkannya jadi serigala yang kesepian.
Polemik Rempang adalah bongkahan batu besar yang dapat menjadi bom waktu dalam kemajuan bangsa. Tidak boleh ada yang diam, termasuk bagi mahasiswa dan semua kaum yang mengaku terpelajar.
Sudah saatnya siratan bekas tinta tebal di wajahmu berganti semangat yang menyala-nyala untuk bersuara. Marilah mendidik rakyat dengan organisasi dan mendidik penguasa dengan perlawanan!