“My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.” — Manuel L. Quezon
“Saya itu pejabat publik sekaligus pejabat politik”, demikian jawaban Presiden Jokowi ketika disoal cawe-cawenya dalam mengurusi koalisi dan kontestasi Pilpres 2024 (Kamis, 4 Mei 2023). Karena juga sebagai politisi, maka Presiden Jokowi merasa berhak dan wajar ikut dalam berpolitik praktis, dan merasa tidak ada aturan konstitusi yang dilanggar.
Jawaban Presiden itu seolah-olah benar. Namun, jika dikuliti lebih jauh, terutama dari sisi etika kepresidenan, maka ada batasan-batasan moral dan hukum yang dilanggar oleh Presiden Jokowi, termasuk pelanggaran konstitusi, ketika ikut turut campur dalam soal Pilpres 2024.
Tulisan ini berniat mengingatkan Presiden Jokowi untuk menjunjung tinggi etika berpolitik dan melaksanakan perintah konstitusi untuk menjadi wasit yang netral dalam pemilu, tulis Denny Indrayana seperti dilansir Ceknricek.com,
Perlu dicatat, etika tidak bisa dipisahkan dari hukum. Pelanggaran etika adalah juga pelanggaran hukum. Etika adalah pondasi dasar hukum. Ronald Dworkin mengatakan, “Moral principles is the foundation of law”.
Presiden yang tidak mengerti etika berpolitik, etika bernegara, etika berkonstitusi, seharusnya tidak layak menjadi pemimpin bangsa. Tanpa memahami dan melaksanakan etika berpolitik kepresidenan, siapapun tidak layak menjadi Presiden Republik Indonesia.
Etika Politik Presiden Vs Etika Politik Joko Widodo
Setiap orang tentu dijamin hak dan kebebasannya untuk berpolitik. Namun demikian, tetap ada etika dan hukum yang berbeda ketika mengatur berpolitik untuk orang pribadi dibandingkan berpolitik sebagai pejabat publik, termasuk seorang presiden. Jika disandingkan, ada perbedaan prinsipil antara politik institusional Jokowi sebagai Presiden, dengan politik personal Joko Widodo sebagai pribadi.
Nah, irisan antara politik Presiden Jokowi, dengan politik pribadi Joko Widodo itu yang harus dipahami, serta wajib dipisahkan penyikapannya secara tegas dan disiplin. Salah memahami, ataupun mencampur-adukkan antara politik sebagai presiden dengan politik sebagai pribadi, akan mengakibatkan benturan kepentingan (conflict of interest) yang berbahaya bagi kehidupan bernegara.
Paling tidak ada dua aspek yang membedakan antara politik institusional Presiden Jokowi dengan politik personal Joko Widodo tersebut, satu, kepentingan yang diperjuangkan, dan dua, fasilitas yang digunakan.
Dari sisi kepentingan, sebagai pejabat publik, politik presiden adalah untuk kepentingan publik. Politik institusional presiden, adalah politik kebangsaan. Politik yang didedikasikan hanya untuk Republik Indonesia. Politik untuk seluruh rakyat, tanpa kecuali, tanpa membedakan, tanpa diskriminasi.
Politik institusional presiden tidak boleh partisan. Artinya, presiden tidak boleh berpolitik untuk tujuan sekelompok masyarakat ataupun partai politik pendukungnya saja.
Karena itu menjadi aneh ketika sebagai Presiden, Jokowi masih memiliki dan mengadakan temu relawan. Sifat dasar relawan adalah partisan dan dilahirkan untuk memenangkan kandidat presiden yang didukungnya. Relawan adalah elemen pemenangan capres. Bagi presiden yang sedang memerintah seharusnya tidak ada lagi elemen relawan.
Seharusnya, begitu dilantik menjadi presiden, ketika kontestasi pilpres selesai, elemen relawan dibubarkan. Presiden yang masih merawat relawannya, akan terus memperpanjang suasana kompetisi, dan akibatnya melanjutkan keterbelahan di tengah masyarakatnya.
Relawan bagi Presiden Jokowi makin tidak relevan. Beliau adalah outgoing president, yang akan mengakhiri periode kedua kepresidenannya. Presiden Jokowi seharusnya mengedepankan persatuan (integrasi), karena tidak ada lagi pertandingan (kompetisi).
Karena itu menjadi pertanyaan, misalnya, untuk apa ada temu relawan bertajuk Gerakan Nusantara Bersatu di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), pada Sabtu (26/11/2022)?
Apakah temu relawan itu adalah agenda politik Presiden Jokowi atau acara pribadi Joko Widodo?
Kalau itu adalah agenda kebangsaan Jokowi sebagai Presiden, kenapa kepentingannya sangat partisan relawan. Kalau itu agenda Joko Widodo sebagai pribadi, kenapa dia datang dengan pin kepresidenan? Kenapa dengan pin kepresidenan yang melekat di dada kanannya, di hadapan ribuan relawan, Presiden Jokowi memberi kode dukungan partisan kepada sang “rambut putih”?
Pertemuan Presiden Jokowi dengan relawan tersebut bahkan dikecam oleh Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Pak Hasto menyebut, acara relawan itu menurunkan citranya sebagai pemimpin negara. “Saya menyesalkan adanya elite relawan yang memanfaatkan Presiden Jokowi sehingga menurunkan citranya sebagai pemimpin negara”.
Lagi-lagi, harus tegas dipisahkan antara politik kelembagaan Presiden Jokowi, dengan politik perseorangan Joko Widodo.
Sebagai pribadi, Jokowi berhak punya aspirasi sendiri. Sebagai pribadi Jokowi berhak dan dapat menjadi petugas partai. Bagi saya, petugas partai adalah bahasa lain saja dari kader partai. Sebagai Presiden, Jokowi tidak boleh partisan. Tetapi, sebagai pribadi Joko Widodo berhak menjadi kader salah satu partai, dalam hal ini PDI Perjuangan.
Sebagai Presiden, Jokowi tidak boleh mendukung salah satu bakal calon presiden. Tetapi sebagai pribadi, Joko Widodo boleh punya sokongan kepada salah satu kandidat, atau pada saatnya nanti bahkan berkampanye bagi salah satu calon presiden tersebut.
Tentu, jika Joko Widodo akan kampanye untuk Capres Ganjar Pranowo, misalnya, maka ia harus cuti sebagai presiden. Demikian aturan UU Pemilu secara tegas mengatur, untuk memastikan Presiden tidak menggunakan fasilitas dan jabatan publiknya sebagai presiden untuk kepentingan politik diri-pribadi.
Dari sisi fasilitas, untuk kepentingan politik kebangsaan, Presiden Jokowi berhak menggunakan protokoler dan fasilitas negara. Sebaliknya, untuk kepentingan politik partisan diri-pribadi, Joko Widodo harus menggunakan fasilitas diri-sendiri.
Itu sebabnya, Istana Negara, Istana Merdeka tidak boleh digunakan untuk membahas strategi pemenangan koalisi pemilihan umum, termasuk Pilpres 2024. Karena agenda politik demikian, bukanlah agenda kebangsaan, tetapi agenda politik partisan.
Presiden Jokowi sudah jujur mengatakan tidak lagi mengundang Nasdem karena sudah punya koalisi sendiri. Tentu yang dimaksud adalah koalisi Nasdem-Demokrat-PKS yang mengusung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden. Joko Widodo dengan jelas sedang berpolitik partisan, dengan menunjukkan preferensi kepada koalisi Ganjar dan Prabowo di satu sisi, serta resistensi kepada partai koalisi pendukung Anies pada sisi yang lain.
Politik partisan demikian, harus dikategorikan sebagai politik pribadi Joko Widodo, dan karenanya tidak boleh dilakukan dengan menggunakan fasilitas negara. Tidak boleh dilakukan di Istana Merdeka.
Seorang pejabat negara, ketika melakukan kegiatan pribadi, tidak boleh menggunakan mobil dinas. Demikian pula seorang Presiden. Ketika sedang berpolitik pribadi, tidak boleh menggunakan anggaran dan fasilitas negara.
Sebenarnya Presiden Jokowi pasti paham. Ketika kampanye sebagai calon presiden di Pilpres 2019, Jokowi berganti menggunakan mobil innova, dan tidak menggunakan mobil dinas kepresidenan.
Presiden Jokowi Wajib Netral Dalam Pilpres 2024
Dengan memahami bedanya politik Jokowi sebagai presiden dan politik Joko Widodo sebagai pribadi, maka harus tegas disampaikan bahwa: Jokowi sebagai presiden harus menjadi wasit yang netral dalam Pilpres 2024. Presiden Jokowi tidak boleh partisan, ikut mendiskusikan koalisi, apalagi mengambil peran dalam penentuan pasangan capres-cawapres.
Ketika Presiden Jokowi menggunakan pengaruh dan kewenangannya untuk mempengaruhi kontestasi Pilpres 2024, maka jelas Presiden telah melanggar konstitusi. Karena salah satu tugas dan mandat setiap Presiden adalah melaksanakan konstitusi dengan selurus-lurusnya, termasuk menjalankan Pilpres 2024 yang LUBER, Jujur dan Adil.
Saya telah menulis panjang-lebar dalam artikel “Bagaimana Jokowi Mendukung Ganjar, Mencadangkan Prabowo, dan Menolak Anies”. untuk membaca lengkap analisis, informasi, dan fakta bagaimana Presiden Jokowi bertindak sebagai wasit yang berpihak dalam Pilpres 2024.
Setelah tulisan itu viral dan dibaca lebih dari 6.000 orang, saya mendapatkan banyak feedback bahwa apa yang saya tulis valid dan akurat. Beberapa elit partai mengkonfirmasi, apa yang saya paparkan adalah fakta panggung belakang, yang coba disamarkan lewat sandiwara panggung depan.
Berkali-kali Presiden Jokowi menyatakan urusan capres adalah ranah partai politik. Beliau tidak ikut cawe-cawe. Tetapi di balik layar, Presiden Jokowi aktif menggunakan pengaruh dan kewenangannya untuk mendukung Ganjar dan Prabowo, serta menjegal Anies.
Tidak mengundang Nasdem hanya salah satu bukti kuat bagaimana Presiden Jokowi menggunakan fasilitas negara (Istana Merdeka) untuk hanya mengundang para Ketum Partai yang satu kubu dengan politik partisannya.
Modus untuk tidak mengundang lawan demikian bukan sekali dilakukan. Nasdem juga tidak diundang ketika buka puasa bersama di Partai Amanat Nasional yang memunculkan pernyataan pers bersama para Ketum dengan Presiden Jokowi soal strategi pembentukan “Koalisi Besar”.
Modus tidak mengundang juga dapat ditarik ke sejarah kompetisi Pilgub Jakarta 2017. Seorang pejabat setingkat menteri juga tidak lagi diundang ke rapat kabinet, karena mendukung Anies, bukan Ahok.
“Bapak mendukung siapa di Pilgub Jakarta”.
“Anies, Bapak Presiden”.
“Kenapa tidak Ahok? Kan survei-surveinya menang Ahok”.
“Ahok punya masalah dengan mulutnya Bapak Presiden”.
Setelah perbincangan itu, sang pejabat tidak lagi diundang rapat kabinet oleh Presiden Jokowi. Niatnya mengundurkan diri hanya urung terwujud karena seorang Menteri lingkaran istana tidak membawa surat pengunduran dirinya, sengaja meletakkan di meja ruang tamu rumahnya, sambil pura-pura pamit ke kamar kecil.
Problem Kedaulatan Partai dan Pencopetan Partai Demokrat
Presiden diduga menggunakan strategi “tahanan luar KPK”, untuk memaksa arah koalisi sesuai strategi Pilpres 2024. Sering saya sampaikan, hukum dijadikan alat untuk menentukan arah koalisi dan strategi pemenangan Pilpres 2024. Jika tidak tunduk dengan strategi pemenangan ala status quo, akan dimunculkan kasus korupsinya.
Modus lain, jika tidak setuju dengan strategi pemenangan ala Istana, akan ada ancaman dilengserkan sebagai pimpinan parpol. Faktanya, sudah ada yang diganti ketua umumnya. Kedaulatan partai terus diganggu. Partai oposisi terus dilemahkan. PKS sudah terpecah dengan lahirnya Gelora.
Yang paling terang-benderang adalah dugaan pencopetan Partai Demokrat. Istilah copet digunakan Muhammad Romahurmuziy (Romi), Ketua MPP Partai Persatuan Pembangunan dalam salah satu podcast.
Saya sebenarnya ingin sekali bertanya kepada Presiden Jokowi. Mengapa Presiden Jokowi mendiamkan langkah Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang terus mengganggu Partai Demokrat?
Bukankah langkah politik Moeldoko itu merusak hubungan Presiden Jokowi dengan Presiden Keenam SBY?
Para jubir lingkaran Istana mengatakan Presiden Jokowi tidak setuju, tetapi tidak bisa melarang, karena itu hak Moeldoko untuk bebas berpolitik, termasuk berupaya menjadi Ketum Partai Demokrat?
Pertanyaannya, sejak kapan Moeldoko menjadi anggota Partai Demokrat sehingga memenuhi syarat menjadi Ketua Umum? Apakah itu hak politik, atau sebagaimana dibahasakan dengan tepat oleh Romi, hanyalah pencopetan Demokrat?
Analoginya, kalau ada tindak pidana pencurian, apakah bisa dibenarkan hanya dengan berkilah itu hak hidup sang pencuri? Kalau benar tidak setuju, kenapa Presiden Jokowi membiarkan dugaan pencopetan Partai Demokrat oleh Moeldoko?
Tidak ada jawaban logis, kecuali Presiden Jokowi memang membiarkan dugaan pencopetan terus terjadi, untuk mengganggu Partai Demokrat, dan ujung akhirnya: mengganggu koalisi serta pencapresan Anies Baswedan.
Lebih jauh, saya ingin bertanya kepada Ketua Umum PDI Perjuangan, kenapa kedaulatan partai-partai begitu mudah diganggu pada era pemerintahan petugas partai Joko Widodo? Apakah Presiden Jokowi tidak diberi pelajaran pahitnya sejarah, ketika Orde Baru melalui Soerjadi mengganggu PDI Megawati, meskipun akhirnya menjadi jalan lahirnya PDI Perjuangan.
Tahapan Pilpres Sudah Berjalan, Presiden Jokowi Netrallah!
Presiden Jokowi juga menunjukkan bahasa tubuh, baru akan “diam” ketika sudah ada penetapan KPU terkait paslon capres-cawapres. Seakan-akan etika netralitas Presiden baru dimulai ketika paslon sudah terdaftar resmi di KPU.Artinya, Presiden Jokowi secara sadar mengakui ikut cawe-cawe, mengaku ikut campur, dan belum diam, karena belum ada penetapan KPU soal pasangan capres-cawapres 2024.
Presiden harus lebih rajin membaca. Tahapan Pemilu 2024, termasuk Pilpres 2024 sudah lama dimulai. Pasal 167 ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 menegaskan, tahapan pemilu sudah wajib dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Artinya tahapan Pilpres 2024 secara hukum sudah dimulai sejak tanggal 14 Juni 2022.
Presiden Jokowi harus sadar, bahwa salah satu faktor kepresidenannya bisa lahir adalah berkat sikap netral presiden sebelumnya. Ketika memberikan pesan “Salam Dua Jari” untuk paslon Jokowi-JK, dengan bekas tinta di hari pencoblosan Pilpres 2014, saya mendapatkan teguran tertulis dari Presiden Keenam SBY. Presiden SBY meminta saya, sebagai Wamenkumham dan bagian dari kabinet, untuk bersifat netral, serta tidak menunjukkan dukungan partisan kepada paslon capres manapun.
Melbourne, Sabtu 6 Mei 2023