Catatan : Muharyadi
SEMANGATNEWS.COM, PADANG – Mengamati dan menghayati seni lukis atau seni murni secara rinci dalam ranah isian dan obyek karya serta tema yang diangkat pada suatu karya baik di studio atau ruang pameran, tak mungkin dilihat sambil lalu tanpa melihat secara totalitas dalam teks dan konteks karya.
Hal itu pulalah yang kita temui saat mengunjungi sejumlah studio seni rupa “urang awak” di Yogyakarta, salah satunya saat memasuki ruang pajang karya seni lukis kaligrafi Islam di rumah Kaligrafi Islam, Jalan Ngasem No. 40 Yogyakarta berisikan puluhan karya-karya seni lukis kaligrafi sang maestro Syaiful Adnan, belum lama berselang.
Di rumah seni lukis Kaligrafi Islam Syaiful Adnan ini pula publik lebih leluasa untuk mengapresiasi karya-karya sang maestro dengan beragam format dan ukuran. Betapa tidak bangunan rumah kaligrafi Islam itu berukuran sedang itu dahulunya merupakan rumah makan “Andalas” milik Syaiful Adnan yang kini beralih fungsi menjadi rumah kaligrafi yang di tata apik dan fleksibel dan penempatan lay out karya-karya sang maestro.
Pakar Kaligrafi Islam. Dr. K.H. Didin Sirajuddin AR, M.Ag yang diminta pendapatnya prihal Syaiful Adnan, menyebut, Syaiful Adnan sejak 1981 datang dengan gerbong “kaligrafi lukis- kontemporer”. Di awal 1980, meletus “perang terbuka” antara dua kubu. Para khattat menuduh pelukis merusak kanun kaedah khattiyah. Para pelukis, di dalamnya ada Syaiful Adnan, malah menjawab balik, bahwa “kaligrafi tidak hanya selesai pada huruf”. Maka, harus diolah dalam rupa-rupa teknik di aneka media.
Didin Sirajuddin AR bahkan malah ikut bergabung ke pelukis, karena yakin mereka tidak sengaja merusak. Mereka hanya “berontak” ingin mencari yang baru. Perjalanan kaligrafi sendiri disarati “pemberontakan” menemukan gaya-gaya baru. Dari semula cuma satu jenis Nabatia mutakhir dengan 2 tipe yaitu tipe soft writing dan tipe hard writing) di jaman awal Islam, hanya 70 an tahun sesudah itu di jaman Bani Abbas berkembang menjadi lebih dari 400 gaya dan nama seperti yg kita kenal: Naskhi, Sulus, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Riq’ah, Raihani, Shini, Kufi, Andalusi, Usyribah, Lu’lu’i, Silwati, Yaquti, dan lainnya.
Terinspirasi kehadiran para pelukis kaligrafi yang “mendobrak” ini, Didin Sirajuddin AR mencoba membuat sejarah tahap-tahap perkembangan Seni Kaligrafi Islam di Indonesia melalui 5 gelombang, yaitu: Angkatan Perintis, Angkatan Orang-orang Pesantren, Angkatan Pelukis Pendobrak, dan Angkatan Kader MTQ yang senantiasa diadakan di tanah air.
Seperti maestro-maestro lain, Khat Pirousi (A.D. Pirous), Khat Akrami (Sayid Akram), dan Khat Amani (Amang Rahman). Selama ini saya berpendapat “belum ada mazhab kaligrafi khas Indonesia”. Yang ada barulah produk atau gaya-gaya individual seperti itu. Kekayaan Syaiful menonjol dalam keragaman tema pilihannya, seperti tauhid, zuhud, kebenaran dan kebatilan, perjuangan hidup, pesan persatuan dan perdamaian, tali persaudaraan dan ukhuwah Islamiyah, akhlaq, sainstek, ketaqwaan, dzikir, sosial kemasyarakatan, amar-makruf dan nahi-munkar. Variasi tema ini seperti usaha kejar-kejaran dengan tema-tema Alquran yang sesungguhnya banyak, variatif, dan tidak bisa dikejar. Apabila khat Kufi Barat Andalusi lahir dari pemberontakan terhadap Kufi Timur, maka sesungguhnya khat Syaifuli yang seragam satu bentuk tapi tematis hasil pemberontakan terhadap Kufi Barat. Cirinya : goresan-goresan lengkung menukik melabrak huruf-huruf di bawahnya. Kesan “tanduk minang yang menyeruduk” memperkukuh eksistensi mazhab Syaifuli made in pelukis kelahiran Minangkabau. Namun demikian pelukis kaligrafi Islam di Indonesia jumlahnya sangat terbatas dibanding pelukis secara umum.
Menurut Syaiful Adnan kelahiran Saningbakar Solok, 5 Juli 1957 itu ; dalam pertumbuhan dan perkembangan seni lukis moderen di tanah air, seni lukis kaligrafi Islam diakui tidak sedahsat seni lukis secara umum. Karena selain pelukisnya harus memahami seni lukis baik secara fisik, non fisik juga harus di back up penguasaan isi Al-Qur’an serta makna-makna yang terkandung di dalamnya kemudian mampu menulis khat seperti gaya Thuluth, Naski, Muhaqqaq, Raihani, Riqai, Taqwi atau Magribi yang masing-masingnya memiliki karakter.
Menurut Syaiful melukis bagi dirinya lebih didasari kesadaran kulturalnya dengan menempatkan kaligrafi sebagai pilihan guna merefresentasikan memori pribadi dan memori kolektif yang menyenangi dan mendalami kaligrafi sebagai pilihan kerja lukis melukis dalam bahasa rupa ranah estetis artistik didasari pemahaman kuat terhadap aspek-aspek elementer berupa garis, warna, bidang, ruang, komposisi dan lainnya dengan mengolah ayat-ayat suci Al-Qur’an menjadi tampilan baru karya seni lukis.
Mengetengahkan ayat-ayat suci Al-Qur’an sebagai tema sentral sebagai bentuk refresentasi atas tauhidiah (keyakinan tentang keesaan Allah) dan zikir sebagai konsekwensi dari tauhid. Hal yang terpenting, lukisan-lukisan juga merupakan ekspresi zikir visual, membaca dan mewujudkan terus menerus tentang ayat-ayat Allah, ujar Syaiful Adnan.
Syaiful Adnan yang semasa di SSRI/SMSR (SMKN4) Padang, kemudian beberapa semester di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta termasuk salah satu pelukis cukup kuat dalam penggayaan kecendrungan realis dan naturalis. Peralihan ke kaligrafi Islam sebagai profesi kerja lukis-melukis mulai ia dalami jelang menyelesaikan kuliahnya di kota gudeg itu, persisnya ketika Syaiful mengikuti pameran perdana kaligtafi Islam pada MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) Nasional di Semarang, Jawa Tengah tahun 1979. Sejak itu karya-karya Syaiful terus meroket di tanah air bahkan kesejumlah negara berpenduduk muslim lainnya.
Ketika ditanya apa yang melatar belakanginya menekuni seni kaligrafi Islam sebagai pilihan kerja lukis-melukis, menurut Syaiful melukis baginya tidak semata menggeluti masalah esetetik dan artistik, melainkan juga memiliki perspektif lain yakni, memberikan sesuatu pesan guna memberikan motivasi kepada penikmat sekaligus meneruskan adat kebiasaan untuk menciptakan dan meneruskan makna kehidupan masyarakat dalam bentuk imajinatif yang memuat persoalan ”estetis”, ”artistik” hingga ke persoalan ”etis”. Dari sini, kata Syaiful lagi terdapat 3 (tiga) faktor yang melatarbelakangi saya melukis kaligrafi Islam meliputi ;
(1). Aspek bentuk lukisan kaligrafi Islam yang memiliki konotasi tersurat (psiko plastis) karena kaligrafi Islam memiliki potensi artistik yang tinggi dan memiliki banyak kemungkinan-kemungkinan dengan fleksibilitas variasi dan nuansa yang didalamnya berisi karakter lembut, luwes, tenang bahkan terkadang berkesan lugas, tajam bahkan menyentak, namun karakter tersebut tetap berada dalam kesatuan dan keharmonisan seperti karakter Islam.
(2). Aspek tersirat (ideo plastis) baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan kaligrafi dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW seperti tersirat dalam wahyu pertama Surat Al-Alaq (3-5) yang artinya ; ”Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah” dengan mengajar apa yang tidak diketahui manusia melalui perantara kalam seperti tercermin pada Surat Al-Qalam 1, ”Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis” dan (3). Melukis kaligrafi Islam merupakan penyampaian ”dakwah” Islamiyah dengan menyentuh kalbu manusia sesuai fitrahnya supaya menjalani kehidupan menurut petunjuk ilahi. Rasulullah SAW juga bersabda ; ”Sesungguhnya Allah Maha Indah, Allah suka keindahan, Allah maha baik”. Namun ketiganya dalam karya-karya yang saya wujudkan bukan semata-mata menghadirkan lafal Al-Qur’an yang mudah dibaca atau sekedar tulisan kaligrafi Arab sebatas tulisan belaka, melainkan suatu penyatuan unsur-unsur psiko palstis dan ideo plastis sebagai cita pembahasan bentuk kaligrafi dijiwai oleh firman-firman ilahi.