Menyoal Bapak Pers Indonesia di HPN 2023:
Catatan Marah Sakti Siregar
SIAPAKAH Bapak Pers Indonesia? Versi lama dan masih berlaku sampai sekarang: Tirto Adhi Soerjo. Dia, wartawan. Pemimpin Redaksi ‘Pemberita Betawi ’ (1902), ‘ Soenda Berita’ (1903) dan pendiri koran ‘Medan Prijaji (1907). Tirto, nama singkatannya T.A.S., dinobatkan sebagai Bapak Pers Indonesia dengan Surat Keputusan Dewan Pers tahun 1973.
Versi lama ini, minggu lalu, mulai digugat dan dipersoalkan. Dalam ‘Seminar Seruan Pers dari Sumatera Utara: Pers Bebas, Demokrasi Bermartabat ” yang diadakan Panitia Konvensi Nasional Media Massa Hari Pers Nasional (HPN) 2023 pada 8 Februari 2023 di Hotel Grand Mercure, Medan, salah satu pembicara di seminar itu, DR Phil. Ichwan Azhari, MS, mantan wartawan, yang kini jadi dosen Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Medan (Unimed), menyatakan selain T.A.S. sebenarnya ada tokoh wartawan pejuang dari Sumatera Utara, namanya, Dja Endar Moeda Harahap, yang juga pantas menyandang gelar Bapak Pers Indonesia.
DR Ichwan Azhari kemudian memaparkan data dan fakta hasil penelitiannya terkait kedua tokoh pers itu. Dja Endar Moeda, lahir di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, tahun 1861, dengan nama lain setelah menunaikan ibadah haji: H. Mohammad Saleh. Sedangkan T.A.S. , lahir di Blora, Jawa Tengah, 1880, dengan nama asli: Raden Mas Djokomono.
Rekam jejak kewartawanan kedua tokoh itu, kata Dr Achwan Azhari, hampir mirip. Tapi, berselisih tahun, Dja Endar Moeda, (disingkat DjEM) lebih senior. DjEM tercatat sudah menjadi editor dan koresponden majalah bulanan pendidikan ‘ Soeloeh Pengadjar ’yang terbit di Probolinggo, Jawa Timur, pada tahun 1887. Sedangkan T.A.S. menjadi redaktur kepala (1901) dan pemimpin redaksi ‘Pemberita Betawi’ (1902).
Pada 1893, DjEM, wartawan yang juga seorang guru, diangkat menjadi redaktur di koran ‘Pertja Barat’ yang didirikan Lie Bian Goan di Padang. Empat tahun kemudian, pada tahun 1987, DjEM mengambil alih kepemilikan koran itu dan menjadi pemimpin redaksinya.
Sementara itu, T.A.S. setelah memimpin ‘Pemberita Betawi’ dan ‘Soenda Berita’, pada 1907 menerbitkan dan sekaligus menjadi pemimpin redaksi surat kabar ’Medan Prijaji ‘ di Bandung. Koran ini disebut-sebut sebagai mingguan berbahasa melayu pertama di Indonesia. Selain berbahasa melayu, mingguan ini sepenuhnya dikelola oleh awak dan staf pribumi.
Misi surat kabar ‘Medan Prijaji’, menurut T.A.S. adalah untuk mengubah cara pandang masyarakat bumiputera terhadap peristiwa yang terjadi di Hindia Belanda. ‘Medan Prijaji’ memiliki tujuan sebagai sarana bagi masyarakat bumiputera untuk mendapatkan informasi sekaligus sebagai surat kabar pembela rakyat.
Setelah mengibarkan misi korannya dalam melakukan edukasi publik dan kontrol sosial melalui berbagai tulisan kritis terhadap pihak yang berkuasa, T.A.S. bergerak maju dan tercatat mendirikan perusahaan penerbitan pertama milik pribumi bersama dua rekannya: Haji Mohamad Arsjad dan Pangeran Oesman.
Nama penerbitan itu, ‘N,V Javaansche boekhandel en Drukkerij’ pada tahun 1909. Sayang, setelah mengubah periode terbit dari mingguan menjadi koran harian, pengelola koran itu terlilit utang, Medan Prijaji pun terpaksa berhenti terbit pada tahun 1912.
Semua dedikasi T.A.S. dalam rekam jurnalistik dan pengelolaan surat kabar yang kemudian mencuatkan namanya sebagai perintis perjuangan pers nasional, menurut DR Ichwan Azhari, sebenarnya sama dan sebanding dengan dedikasi dan idealisme DjEM.
”Cuma, terus terang saja. Data dan fakta tentang DjEM belum banyak diungkapkan dan diketahui orang. Sedangkan informasi dan persepsi tentang sosok T.A.S sangat lengkap. Apa lagi ada dukungan novel tetralogi Sastrawan Pramoedya Ananta Toer ‘Sang Pemula’ yang menukilkan figur bayangan T.A.S sebagai inspirasi awal pers perjuangan melawan kolonial. Dia itu sudah seperti mitos Bapak Pers Indonesia,” kata mantan wartawan Mertju Suar dan Sinar Pembangunan, Medan itu.
Ketika berkesempatan meneruskan studi S3 di Jerman, Ichwan Azhari mengatakan, dia sempat menelusuri banyak dokumen lama ke pelbagai sumber di Belanda. Sampai kemudian menemukan sejumlah fakta berupa dokumentasi koran dan literatur yang memperlihatkan rekam sejarah sejumlah wartawan pejuang pro kemerdekaan RI dari Sumatera Utara, termasuk sosok DjEM.
Anak Sidempuan yang kemudian mukim di Padang itu, tambah Ichwan Azhari lagi, amat menonjol setelah berhasil membeli ‘Pertja Barat’ dan percetakan ‘Snelpersdrukkerij Insulinde’ dari pemiliknya Lie Bian Goan pada tahun 1897.
Koran itu seperti ‘Medan Prijaji’ juga berjuang untuk anak bangsa dan berbahasa melayu. Jargon atau motto korannya semula “Organ dari Segala Bangsa. ” Tapi, setelah diakuisisi DjEM, diubah menjadi :” Oentoek Segala Bangsa.”
Surat kabar yang terbit tiga kali seminggu ini, Selasa, Kamis dan Sabtu, sering menampilkan tulisan kritis dan sindiran tajam terhadap penguasa kolonial. Gaya literasi seperti itu rupanya cukup mendapat sambutan dari pembacanya. Baik lokal, maupun pembaca yang umumnya kaum intelektual di Eropa.
Sirkulasi ‘Pertja Barat’ karena model keagenannya yang unik, tercatat bisa memiliki agen di Belanda, Belgia dan Prancis. Harga langganannya waktu itu sekitar 18 f ( guden) setahun.
Menurut Ichwan Azhari, sepak terjang DjEM sebagai jurnalis dan penerbit suratkabar setelah mengakuisisi ‘Pertja Barat’ makin berkibar di awal tahun 1900. Tercatat, tahun-tahun setelah itu dia menerbitkan beberapa koran baru. Koran dalam bahasa Batak ‘Tapian Na Oeli’ di Sibolga.
Lalu, di Padang, dia menerbitkan koran baru ‘Insulinde’ (1903-1905). Semua media yang diterbitkannya itu bermisi serupa: membela rakyat pribumi dan menentang penjajahan.
Konsekuensi dari sepak terjangnya yang agresif dan berani itu, pada seputar tahun 1905, DjEM tersandung kasus delik pers. Koran ‘Het Nieuws van den dag vor Nederlandsch-Indie’ memberitakan, DjEM diadili dan kemudian divonis bersalah kena hukum cambuk dan diusir dari kota Padang.
Namun, hukuman itu tak membuat dia keder dan jera. Dari Padang dia pindah ke beberapa kota di Sumatera. Antara lain, ke Medan dan Aceh. Di Kutaraja, Aceh, dia menerbitkan koran berbahasa melayu: ‘Pembrita Atjeh’ pada tahun 1906. Setelah itu, tiga atau empat tahun kemudian dia pindah ke Medan.
Di kota ini DjEM menerbitkan surat kabar ‘Pewarta Deli’. Di koran idealis dan antikolonial ini pula pernah berkiprah sejumlah wartawan yang akhirnya menjadi tokoh pers nasional. Misalnya, Adinegoro, Parada Harahap Mangaradja Luthan dan Mohamad Said, yang kemudian mendirikan surat kabar ‘Waspada.’
Catatan positif Ichwan Azhari tentang idealisme perjuangan DjEM dan kinerja sirkulasi ‘Pertja Barat” mungkin sesuatu yang baru bagi sebagian komunitas pers. Tidak demikian bagi kalangan akademisi. DR Surya Suryadi, MA, pakar filologi dan dosen di Universitas Leiden, Belanda, misalnya. Ahli pernaskahan Nusantara yang hasil penelitiannya banyak dimuat di pelbagai jurnal internasional itu, pernah menulis tentang sepak terjang DjEM di Blog Minang Saisuak.
” Jika kita menapaktilasi lahirnya pers pribumi di Sumatera, khususnya di Padang, maka jelas nama Dja Endar Moeda (DjEM) alias H. Mohammad Saleh, haram untuk dilewati,” tulis akademisi lulusan Universitas Andalas yang menyelesaikan studi doktoral di Universitas Leiden itu.
DjEM, tulisnya, adalah seorang pribumi pintar yang terkemuka di Padang. Ia punya kepribadian yang hangat dan karenanya memiliki banyak teman. Baik dari kalangan pribumi maupun orang Belanda.
Catatan DR Suryadi, 57 tahun, tentang kiprah pelbagai surat kabar yang diterbitkan DjEM hampir sama dengan yang disampaikan DR Ichwan Azhari. Melalui koran-korannya, DjEM ingin menggugah kaum pribumi dan kaum perempuan agar bergiat meraih kemajuan. Sampai medio Juli 1911, ‘Pertja Barat’ masih terbit tiga kali seminggu. Tapi, bulan Juli 1911, DjEM kena ranjau pers kolonial terkait tulisan kritisnya tentang para pegawai pribumi prijaji yang merugikan rakyat. DjEM pun divonis bersalah. Harus menjalani hukuman badan dan keluar dari kota Padang.
Setelah kena hukuman, kepemimpinan di ‘Pertja Barat’ diambil alih oleh saudara DjEM, Dja Endar Boengsoe. Namun, baru beberapa bulan memimpin Dja Endar Boengsoe meninggal dunia. Maka, kepemimpinan redaksi koran itu kemudian diserahkan kepada putra DjEM, Kamaruddin. Namun Sang Putra Mahkota rupanya tak secakap ayah dan pamannya dalam mengembangkan koran. Walhasil, tahun 1912, setelah terbit sekitar dua dekade, ‘Pertja Barat’ akhirnya berhenti terbit.
Menutup tulisanya, DR Suryadi menyimpulkan: ” DjEM adalah seorang perintis pers pribumi di Sumatera. Bahkan mungkin di Hindia Belanda. Minatnya sangat besar pada buku dan media yang menurut dia penting untuk memajukan kaum pribumi sebangsanya. Penerbit dan toko buku Snelpres Drukkerij Insulinde, selain digunakan untuk mencetak koran-korannya, juga digunakan untuk mencetak buku. Baik karangan DjEM sendiri maupun orang lain.”
Apa pun, testimoni literasi DR Suryadi itu, ikut melengkapi klaim yang disampaikan dengan bersemangat oleh DR Ichwan Azhari tentang kelayakan Dja Endar Moeda sebagai Bapak Pers Indonesia.
Nah, dengan sejumlah fakta dan pandangan baru tadi, apakah mungkin menggeser mitos dan posisi T.A.S.— yang pada tanggal 3 November 2006 lalu malah sudah diberi gelar Pahlawan Nasional—sebagai Bapak Pers Indonesia? “Wah. Kalau itu terpulang pada Dewan Pers. Sayakan sebagai sejarawan sekedar mengungkapkan data dan fakta. Silakan saja diteliti lebih mendalam. Mana yang lebih pantas,” kata DR Ichwan Azhari.
Yang jelas, dia melanjutkan, dua koleganya sesama sejarawan yang ikut dalam seminar pers dalam rangka HPN 2023, tidak atau belum membantah data dan fakta yang disajikan.
Dua sejarawan itu adalah Prof DR Nina Herawati dari Universitas Padjajaran, Bandung dan DR Wannofri Samry, M. Hum. dari Universitas Andalas, Padang. Ikut juga sebagai pemateri dalam seminar itu Ketua Dewan Pers DR Ninik Rahayu.