Priyantono Oemar:PWI Pun Dulu Mengasah Kemahiran Berbahasa Indonesia di Karya Latihan Wartawan
Ketika Ejaan yang Disempurnakan (EYD) diluncurkan pada Agustus 1972, menurut catatan Amin Singgih, pada April 1973 dimulai Penataran Bahasa Indonesia di lingkungan Hankam. Penataran ini diadakan dalam 20 angkatan, masing-masing angkatan 40-45 peserta.
Namun, sebelum EYD diluncurkan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) telah memulai Karya Latihan Wartawan (KLW) pada 29 November – 13 Desember 1971. Ini KLW pertama yang diadakan PWI. Amin Singgih diundang untuk menyampaikan materi “Bahasa Pers”.
Pada masa kepemimpinan Prof Prijono di lembaga kebahasaan, pengaruh bahasa Jawa dibiarkan merasuki bahasa Indonesia. Pada Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan, Sutan Takdir Alisjahbana berdebat sengit dengan Prijono. Sutan Takdir menginginkan penyusunan ejaan baru, tetapi Prijono tidak menyetujuinya.
Prijono memilih tetap memakai Ejaan van Ophuijsen untuk mengembangkan bahasa Indonesia karena belum cukup ahli bahasa Indonesia untuk menyusun ejaan baru. Menurut dia, nanti jika Indonesia sudah memiliki banyak ahli bahasa, baru disusun ejaan baru. Untuk menambah jumlah ahli bahasa Indonesia, perlu ada program pengiriman mahasiswa bahasa Indonesia untuk melanjutkan studi di luar negeri.
Amin Singgih menjadi salah satu orang terdepan yang mengkritik penjawaan bahasa Indonesia. Ia menilai, perkembangan bahasa Indonesia yang menjurus kepada penjawaan bahasa Indonesia sebagai hal yang keliru. Amin adalah orang Jawa, tetapi ia dianggap sebagai penuntun bahasa Indonesia.
“Setelah Amin Singgih meninggal dunia, maka ahli bahasa yang berceramah depan para peserta KLW ialah Drs Anton M Moeliono,” tulis Rosihan Anwar. Rosihan pernah menjadi direktur Program KLW. Menurut dia, KLW diadakan untuk menyegarkan kembali pengetahuan wartawan mengenai bahasa. Jus Badudu dan S Wojowasito juga menjadi pembicara di KLW-KLW PWI. Ada pula Soedjatmoko. “Dengan begitu kelihatan betapa PWI senantiasa kerja sama dengan para ahli bahasa dalam usaha menatar para wartawan,”ujar Rosihan.
Pada saat pemerintahan pendudukan Jepang pada Maret 1942 melarang penggunaan bahasa Belanda dan mengharuskan penggunaan bahasa Indonesia, Rosihan Anwar termasuk yang tersentak. Sebagai wartawan muda di Jakarta, datang dari Sumatra Barat, ia mengaku tergagap-gagap dalam berbahasa Indonesia.
Sebagai orang Minang, ia sebenarnya mengerti bahasa Indonesia, karena logat Minang dan logat Indonesia tidak begitu jauh perbedaannya. “Maka saya mendapatkan diri sebagai orang yang mengerti bahasa Indonesia, tetapi belum cukup lengkap guna dipakai mengutarakan pikiran dan perasaan dalam tulisan,” kata Rosihan.
Maka, sebagai wartawan muda, Rosihan Anwar pun rajin mencatat kata-kata baru yang ia temukan. Dari semula ia membaca karya-karya sastrawan Pujangga Baru, ia kemudian juga menyantap karya-karya picisan yang terbit di Medan dan Bukittinggi untuk menangkap perkembangan bahasa Indonesia.
Amin Singgih tidak bisa lama membantu PWI mengembangkan kemampuan wartawan dalam berbahasa Indonesia. Ia meninggal dunia pada 1973. Tapi ia telah banyak menulis buku. Di antaranya: Menuju Bahasa Indonesia Umum, Bahasa Bangsa Indonesia, Pedoman Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar, Membina Bahasa Indonesia, Belajar Bahasa Indonesia tanpa Guru.
Apa yang diberikan di dalam KLW? Menurut Rosihan, selain bahasa Indonesia, peserta KLW juga sekaligus diajari teknik menulis. Para wartawan di kepengurusan PWI membahas teknik penulisan, ahli bahasa Indonesia membahas berbagai kesalahan dalam berbahasa Indonesia.
Di depan peserta KLW 1975, Anton Moeliono mengkritik penggunaan kata-kata asing di surat kabar. Ia menyarankan agar wartawan mau bersusah payah mencari terjemahannya dalam bahasa Indonesia di kamus. “Berapa banyakkah wartawan Indonesia yang mempunyai kamus?” tanya Anton Moeliono.
Pada KLW 1978, Jus Badudu menyatakan, “Bahasa surat kabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik… Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami.” Dengan penyampaian demikian, maka surat kabar membantu pembaca segingga tidak harus belama-lama menghabiskan waktu untuk mengulang-ulang membacanya agar bisa memahami kalimat per kalimat yang ada di surat kabar.
Singkat, padat, jelas, berarti berbicara soal ekonomi kata, dengan menghindri hal-hal mubazir dalam penggunaan kata. Kerancuan bahasa yang digunakan surat kabar juga diseinggung para ahli bahasa dari KLW pertawa. Misalnya, pada KLW 1971, Amin Singgih menyinggung soal “untuk sementara waktu”, “sementara orang”, “selain daripada itu”, “dan lain sebagainya”, “berhubung karena”, “demi untuk”, “agar supaya”. Amin Singgih menyarankan agar kerancuan semacam ini dihindari.
Mestinya, kata Singgih, “untuk sementara” atau “untuk beberapa waktu”. Sebab, “sementara” berarti “sedang”, maka dalam “sementara” sudah ada arti “waktu”.
Kesalahan dalam penggunaan kata tanya dalam kalimat berita seperti “di mana”, “hal mana”, “yang mana”, “dengan siapa” “atas mana” –yang ternyata masih mudah ditemukan hingga kini, juga dibahas di KLW. Berarti wartawan itu memang ndableg ya. Sudah jelas salah, tetap saja dipakai.
Tentu yang dibahas tidak hanya kasus-kasus kesalahan bahasa di surat-surat kabar. Para ahli bahasa menyampaikan juga teori-teori bahasa. “Dalam Karya Latihan Wartawan (KLW) ke-17 PWI Pusat di Jakarta tanggal 6-10 Desember 1978, para pesertanya bersepakat menerima Pedoman Pemakaian Bahasa dalam Pers,” kata Rosihan Anwar.
“Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata ‘sementara itu’, ‘dapat ditambahkan’, ‘perlu diketahui’, ‘dalam rangka’, ‘selanjutnya’….” Demikian kalimat panduan di dalam pedoman itu.
Tapi, kata-kata itu juga masih sering digunakan hingga sekarang oleh banyak wartawan. Ndableg, memang.