In Memorium DP Datuk Labuan:Perginya Si Pemikir Praktis dan Strategis
Oleh: Syafruddin AL
Dalam rentang waktu hampir satu setengah bulan, saya harus kehilangan dua orang senior yang juga teman baik yang selama ini sangat akrab dengan saya. Pada 27 Desember 2021 saya kehilangan wartawan senior yang sekaligus dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr. Mafri Amir, MA, Minggu (13 Februari 2022) ini saya harus kehilangan Drs. Dasril Panin Datuk Labuan yang baru setahun menjabat sebagai wakil bupati di kampung halamannya, Kabupaten Dharmasraya. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pukul 14.00 WIB di RS Achmad Mukhtar, Bukittinggi, karena sakit. Innalillahi wa inna illaihi rajiun.
Perkenalan saya dengan Pak Datuk –terakhir saya memanggilnya dengan sebutan Mak Datuk—terjadi tahun 1994 ketika sudah diangkat sebagai PAW Anggota DPR RI dari Sumatera Barat menggantikan almarhum Zulharman Said. Semestinya, berdasarkan suara terbanyak berikutnya, bukan Datuk Labuan yang harus dilantik. Tetapi, Gubernur Hasan Basri Durin yang sekaligus Ketua Wanhat Golkar mengusulkan Datuk Labuan sebagai pengganti Pak Zulharmans. “Ciek tu urang ilia yang bisa berpintalon,” kata Pak Hasan saat menerima konsultasi pimpinan Golkar Sumbar, sebagaimana ditirukan Datuk Labuan kepada saya suatu kali.
Sebelum Datuk menjadi anggota Dewan, sebagai wartawan Singgalang yang baru ditugaskan di Jakarta pada 1992, saya sering bertandang ke DPR RI di Senayan untuk melakukan serangkaian wawancara kepada anggota dewan asal Sumatera Barat, terutama meminta tanggapan atas ‘penolakan’ Mendagri Rudini terhadap Pak Hasan Basri Durin yang ketika itu hendak dicalonkan kembali sebagai Gubernur Sumatera Barat periode kedua. Anggota Dewan yang sering saya wawancarai waktu itu adalah Pak Novian Kaman, SH dan Bang Taufik Thaib, SH. Setelah Datuk bergabung, saya menjadi lebih akrab dengan beliau. Sering diajak reses ke Sumatera Barat dengan biaya pribadinya, termasuk ketika beliau ikut memotori pemekaran Kabupaten Sawahlunto Sojunjung yang melahirkan Kabupaten Dharmasraya. Paling tidak sekali dua pekan, saya ikut ke Pulau Punjung mendampingi beliau.
Jauh sebelum Kabupaten Sawahlunto Sojunjung (sekarang Sijunjung-red) dimekarkan bersama Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Solok, saya diminta Datuk Labuan mengutus rekan-rekan wartawan untuk mewawancarai Bupati Darius Apan tentang masa depan Kabupaten Sijunjung. Namun di balik itu, Datuk menitipkan pertanyaandan saran ke sang wartawan agar Bupati bersedia melepas Kecamatan Sumpur Kudus ke Kabupaten Tanah Datar sehingga Kecamatan Koto Baru yang berada di balik Padangpanjang diserahkan ke Kabupaten Agam. Kemudian serahkan Kecamatan Talawi dan Padang Sibusuk ke Kota Sawahlunto sehingga kota ini bisa lebih mandiri dengan luas wilayah yang lebih memadai dan terakhir pindahkan Ibukota Kabupaten Sijunjung dari Muaro ke Kiliran Jao agar orang “ilia” – istilah yang disampaikan Datuk sendiri untuk daerah Pulau Punjung hingga Sungai Rumbai—tidak terlalu jauh berurusan ke Muaro. Strategis memang. Katak Datuk kepada saya, dengan begitu, tidak akan ada tuntutan dari masyarakat Sijunjung bagian selatan untuk pemekaran.
Datuk sepertinya sudah tahu bahwa Bupati Darius akan menolak permintaan itu. Itulah sebabnya ia kemudian ikut berkecimpung dalam persiapan pembentukan Kabupaten Dharmasraya, termasuk –tentunya – menuntaskan secara politis di DPR-RI, meski dalam proses pembentukan beberapa daerah baru saat itu, Datuk dipercaya oleh pimpinan DPR RI sebagai Ketua Pansus pembentukan Provinsi Banten, pemekaran dari Provinsi Jawa Barat.
Rekan sejawatnya di DPR yang sama-sama mewakili Golkar dari Sumatera Barat, Sutan Muhammad Taufik Thaib mengakui kepiawaian Datuk dalam mengatur strategi untuk banyak hal. Istilah almarhum Bang Taufik kepada saya, Datuk Labuan itu “orang halus”, suatu istilah untuk menyebutkan seorang intel dan ahli strategi. “Dalam hal informasi penting dan strategis, Datuk selalu tahu lebih dulu,” kata Bang Taufik. Karena itu, kata Bang Taufik menambahkan, Datuk kurang pasih berpidato karena selalu berada di belakang layar.
Penjelasan Bang Taufik soal datuk suka di belakang layar itu ada benarnya. Di saat elit dan tokoh Minang rebutan tampil untuk gerakan spin off PT Semen Padang dari PT Semen Gresik (1999-2000), Datuk tak nampak ikut tampil dan bicara meski waktu itu beliau masih di DPR. Tapi, pasca gagalnya perjuangan spin off dan sebelum Pak Dwi Sutjipto ditunjuk menjadi Dirut PT Semen Padang, yang akan menjadi Dirut itu adalah Rinaldi Firmansyah (terakhir jadi Dirut Telkom) sedang Datuk Labuan sendiri sebagai Komisaris Utama. Saya sudah diajak beberapa kali pertemuan beliau dengan Rinaldi untuk menginventarisasi masalah pasca perjuangan spin off. Saya juga sempat diajak dalam pertemuan di rumah dinas Pak Jusuf Kalla di Kuningan. Pak JK waktu itu sebagai Menko Kesra. Namun oleh satu hal yang juga saya ketahui, langkah Datuk akhirnya terhenti. Meski gagal menjadi Komut, Datuk cukup berperan membantu Pak Dwi Sutjipto di awal-awal kepemimpinannya di PT Semen Padang.
Lepas dari soal Semen Padang, ketika reformasi 1998, Datuk cukup banyak memberikan pengetahuan kepada saya tentang gejolak yang terjadi dan ujung dari segalanya. Saat DPR RI dikepung mahasiswa, saya dan Datuk ikut terkurung di ruang kerjanya, Lt.VI Gedung DPR RI.
Datuk pula yang kemudian memberi ide kepada saya untuk menerbitkan Tabloid MinangPost di Jakarta dan beliau menghimpun rekan-rekannya patungan untuk biaya operasional tabloid yang sempat memiliki oplah 15.000 eksemplar itu. Tujuannya, selain untuk memanfaatkan peluang reformasi, Datuk juga merasa prihatin karena pendapatan kami sebagai wartawan daerah yang bertugas di Jakarta waktu itu pada dipotong oleh perusahaan sejalan dengan melemahnya nilai tukar rupiah. “Kalian dapat tambahan pendapatan, kami dapat nama,” kata Datuk. Tapi, karena menuruti pemikiran Datuk ini pula yang akhirnya saya terpaksa ‘resign’ dari Harian Singgalang, karena sesuai ketentuan yang berlaku, tidak boleh ada wartawan Singgalang bekerja untuk media lain.
Sebagai sahabat, Datuk yang kadang terasa cuek, namun memiliki rasa setiakawan yang tinggi. Tahun 1996, setelah dua tahun berteman dengannya, Datuk tiba-tiba menyuruh saya beli mobil. “Kasiah den maliek, dari lua nin, harus jalan kaki ka gedung DPR ko,” kata Datuk. Maksudnya, setelah turun dari bis Bogor-Grogol (Jakarta) dan turun di depan DPR, saya harus jalan kaki ke dalam gedung yang lumayan jauh. Kadang, pulang malam dari liputan di Jakarta harus bersusah payak ke UKI untuk mendapat angkutan ke Bogor, tempat saya tinggal.
Saya bilang; “mana bisa saya beli mobil Datuk? Gaji saya hanya habis di jalan untuk bolak balik Bogor – Jakarta setiap hari.” Datuk cuma diam mendengar keluhan saya. Namun sebulan kemudian tiba-tiba dia menelepon saya ke rumah.
“Angku ado rencana ke Jakarta ndak?” Tanya Datuk.
“Tidak Mak Datuk! Memang mengapa?” Saya balik bertanya.
“Kamarilah, sebelum jam 14.00 harus sudah tiba di ruangan saya. Ada hal penting,” kata dia.
Saya langsung bergegas dari Bogor dan langsung ke ruangannya di Lt. 11, gedung baru DPR-RI. Tapi begitu saya buka pintu, Datuk langsung menepuk dahi sambil berucap: “Waduh, ado lo kawan den tadi datang manangih, anak e ka masuak sikola. Kanai potong lo pitih panambah bali oto angku,” kata Datuk. Saya terperanjat mendengar ucapannya. “panambah pambali oto”. Datuk kemudian menyodorkan segopok uang kepada saya. “Ambillah sisanya ini untuk tambahan beli mobil, tapi sasakali den buliah manumpang yo,” kata dia berseloroh. Saya menangis haru. Datuk yang setiap wawancara atau bertemu, jarang menyelipkan saya sekadar uang transpor, tetapi tiba-tiba mau menambah segopok uang untuk membelikan saya mobil tua, Katana Long. Setelah dibantu juga oleh Harian Singgalang, itulah mobil pertama saya di Jakarta.
Suatu hari di tahun 2006, Datuk meminta saya datang ke rumahnya di Komplek DPR Bintaro. Beliau meminta pendapat saya tentang rencananya untuk mengundurkan diri dari posisi kepengurusan DPD PDIP Sumatera Barat. Ia juga meminta saya membuatkan surat pengunduran dirinya kepada Ketua Umum Megawati Soekarno Putri. Saya langsung menolaknya. Dan meminta Datuk tetap bertahan, tak elok menolak amanah mantan Presiden dan suaminya yang sudah akrab dengan Datuk. Saya yakinkan beliau yang waktu itu hanya sebagai salah seorang wakil ketua bahwa suatu saat Datuk pasti akan dipercaya Bu Mega dan Bang Taufik Kiemas sebagai Ketua PDIP Sumatera Barat. “Akan ada masanya,” kata saya. Datuk akhirnya setuju. Beberapa bulan kemudian ia memang menjadi Ketua DPD PDIP Sumatera Barat dan kepada saya beliau meyakinkan bahwa dia ingin merebut dua kursi DPR RI yang pernah hilang di Ranah Minang. Harapannya itu memang baru terwujud setelah beliau tak lagi jadi ketua, ketika pada Pemilu 2014, Alek Indra Lukman dan Agus Susanto berhasil meraih kursi DPR RI. Namun Datuk telah ikut “berdarah-darah” untuk membesarkan PDIP Sumatera Barat waktu itu.
Akhir 2018, tiba-tiba Datuk menelpon saya lagi. Ia mengabarkan bawa drinya ditelpon Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan, yang memintanya menjadi calon Wakil Bupati mendampingi Sutan di periode kedua, 2021-2024. Spontan saya bilang, “Alhamdulillah, terima saja Datuk. Meski keinginan Datuk hanya jadi Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat, namun tidak kesampaian karena tidak mencalonkan diri, toh jadi wakil bupati juga tidak terlalu menguras tenaga,” kata saya meyakinkan beliau. “Oke, bismilah. Tapi, nanti kamu pulang ke Pulau Punjung ya, bantu saya,” jawabnya.
Waktu kampanye di pertengahan 2020, Datuk meminta saya untuk hadir di Pulau Punjung. Namun karena kondisi kesehatan saya lagi terganggu dan juga sedang pandemi Covid-19, saya hanya membuat beberapa ulasan tentang sosok beliau yang termasuk salah seorang tokoh pemekaran Dharmasraya. Pasangan Sutan Riska dan Datuk Labuhan akhirnya memang menjadi pemenang dan awal 2021 dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Dharmasraya.
Beberapa kali beliau menelpon saya untuk datang ke Pulau Punjung. “Saya ini diminta jadi wakil bupati karena ada tugas khusus dari bupati. Kamu harus datang ke sini membantu saya,” perintah beliau dalam beberapa kali kesempatan.
Saya baru datang ke Pulau Punjung (pusat kabupaten Dharmasraya) pada akhir September 2021. Selama dalam perjalanan dari Padang yang menghabiskan waktu sekitar 4 jam, ada dua kali Datuk bertanya sudah sampai di mana? Ketika jam 19.30 WIB saya sudah tiba di hotel Jakarta, Pulau Punjung, beliau langsung datang menemui saya. Padahal tadinya, saya yang akan mampir ke rumah dinasnya.
Saya diajak makan malam di rumah makan seberang hotel. Namun saat bertemu dan saat menyeberang jalan, saya melihat kondisi Datuk sudah agak ringkih. Beliau bilang kesehatannya sedang terganggu. Dalam beberapa hari ke depan, dia bilang mau berobat ke Jakarta. Datuk kemudian mengantar saya balik ke hotel. Di tangga sebelum naik ke lantai 2, beliau ngasih saya sebuah amplop. “Ini sedikit, supaya kamu ikut menikmati gaji saya sebagai wakil bupati,” kata dia. “Soal rencana yang pernah kita bicarakan, nanti kita bicarakan lagi setelah saya kembali ke Pulau ini. Banyak pekerjaan untuk membantu Sutan,” sambung Datuk.
Kontak saya kemudian seperti terputus. Saya juga tak mau mengganggu, karena beliau ingin fokus berobat. Tamu pun dibatasi datang ke rumah pribadinya di Bintaro.
Pekan lalu, saya gembira ketika melihat potongan berita media online mengabarkan Datuk menghadiri rapat virtual. Ada foto yang memperlihatkan wajahnya cukup segar dan serius mengikuti rapat. Tadinya, awal Maret depan saya sudah merencanakan untuk menemui Datuk dan ingin bicara panjang lebar. Sejumlah rekan dan sejawat saya di Dharmasraya juga meminta saya bertemu Datuk dan ikut memberi masukan untuk berbagai program kerjanya bersama Bupati Sutan Riska.
Namun tadi sore, sekitar pukul 14.30 WIB, saya ditelpon Andi, suami keponakannya, yang dengan terbata-bata menyampaikan kabar duka bahwa Datuk, si pemikir praktis dan strategis itu telah tiada. Wakil Bupati tertua berusia 73 tahun itu menghembuskan nafas terakhirnya di RS Achmad Mukhtar, Bukittinggi, setengah jam sebelumnya, pukul 14.00 WIB. Kembali saya terharu dan gundah gulana atas kepergian seorang sahabat yang sangat baik. Saya hanya bisa memanjatkan doa dari jauh dan bersaksi bahwa Drs. Dasril Panin Datuk Labuan adalah orang baik. Dia tidak hanya bisa “berpintalon” seorang diri, tetapi juga sudah turut andil memajukan kampung halamannya. Selamat jalan Datuk. Pesanmu akan saya jalankan sebisanya. “Allahummaghfir lahu warham hu wa’afi hii wa’fu anhu!” (*)