In Memoriam Dr.Mochtar Naim;Polarisasi Budaya Nusantara:Catatan Wardas Tanjung
Saya mulai mengenal dan merasa dekat dengan pak Mochtar Naim sekitar bulan Agustus 1982. Kala itu saya menjadi mahasiswa angkatan pertama Fakultas Sastra Unand yang beliau dirikan.
Saat menjadi mahasiswanya, saya pernah beberapa kali beliau libatkan dalam penelitian. Setelah tamat, beberapa kali pula beliau mengajak saya bareng menulis kertas kerja untuk seminar dan diskusi ilmiah. Yang paling mengesankan adalah saat menulis makalah tentang Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) yang akan disajikan pada seminar di BKKBN Sumbar, awal tahun 1991. Beliau memberi saya kesempatan seluas luasnya dan sebebas bebasnya semalaman bekerja di ruang perustakaan rumahnya di Jl. Cendrawasih Air Tawar Barat, Padang. Wal hasil setelah makalah selesai dan diperbanyak, saya dilarang tampil oleh Kepala BKKBN Sumbar.
Apa pasal?
Makalah tersebut berisi analisis tentang trend berkeluarga di kota dan desa. Berdasarkan data data yang kami kumpulkan pada waktu itu, ternyata di kota masyarakatnya cenderung membentuk keluarga kecil (nuclear family) sedangkan di desa masih mempertahankan keluarga besar (extended family). Dari trend tersebut kami merekomendasikan agar konsentrasi penggarapan KB diarahkan ke desa. Di kota tidak perlu KB karena with or without KB, masyarakat kota akan tetap berkeluarga kecil.
Nah, rekomendasi terakhir inilah yang jadi masalah. Soalnya, waktu itu saya baru saja diangkat sebagai PNS di BKKBN. Saya dianggap berpikiran destruktif sehingga dilarang duduk di meja nara sumber bersama pak Mochtar Naim.
*Polarisasi Budaya Nusantara*
Pak Mochtar Naim adalah seorang sosiolog terkenal. Beliau sangat cerdas dan kritis sekali melihat persoalan sosial budaya di tengah masyarakat dan sangat lugas pula bahasanya ketika mejelaskan persoalan persoalan tersebut.
Beliau tak pernah gentar apalagi kecut meski harus berhadapan dengan kekuasaan. Bagi pak Mochtar, kebenaran harus disuarakan. Beliau sangat menjunjung tinggi kejujuran ilmiah dan nilai nilai akademis. “Karena setiap pernyataan yang keluar dari seorang akademisi akan menjadi rujukan oleh mahasiswa dan masyarakat,” katanya menjelaskan, suatu kali.
Satu hal yang sangat tajam dari analisis pak Mochtar adalah tentang budaya nusantara yang terpola ke dalam dua kutub, yaitu budaya Minang (M) dan budaya Jawa (J).
Pak Mochtar mencoba menggambarkan budaya nusantara ke dalam sebuah garis lurus horizontal, di mana pada kedua ujung garis tersebut terdapat titik pusat budaya M dan titik pusat budaya J. Budaya M dicirikan dengan matrilineal-matrilokal, egaliter-horizontal, musyawarah-mufakat dll sedangkan budaya J berciri patrilineal-patrilokal, vertikal patron-klien dan titah raja. Dengan ciri ciri tersebut, maka mana mana budaya daerah yang sama dengan M akan menggabung ke kutub M, dan mana mana pula yang sama dengan J akan menggabung ke kutub J.
Dari penelusuran terhadap budaya daerah di nusantara ini, ternyata budaya M berdiri sendiri di kutub M sementara budaya budaya daerah lainnya menyatu ke kutub budaya J. Ini berarti bahwa pola budaya di nusantara dicerminkan oleh budaya M dan J, namun secara kuantitas jumlahnya lebih banyak mengikuti pola budaya J. Itu pula sebabnya dari berbagai kebijakan pemerintah selama ini lebih mewakili aspirasi budaya J ketimbang M. Dalam penatalaksanaan birokrasi pemerintahan misalnya, atasan tak ubahnya seperti seorang raja, yang titahnya harus dilaksanakan, meski berseberangan dengan akal sehat. Berbeda pendapat dengan atasan dianggap sebagai perlawanan terhadap titah raja. Hal ini menurut pak Mochtar telah memunculkan budaya ABS (Asal Bapak Senang).
Jika kita amati praktek dalam sistem birokrasi pemerintahan sekarang, agaknya analisis pak Mochtar tidak terbantahkan. Birokrasi pemerintahan menjadi tidak kreatif. Sebab perintah atasan adalah titah raja, sehingga anak buah harus melakukan pembenaran (justifikasi) dengan mencarikan dalih atau alasan tertentu. Birokrasi sepertinya tidak memberi tempat bagi terjadinya perbedaan pendapat antar individu. Oleh sebab itu, sistem yang dibangun di birokrasi pemerintahan adalah patron linkage yang kaku. Di situ hanya ada keseragaman, bukan keragaman.
*Dahulukan yang Wajib*
Di kisaran tahun 1988 saya didapuk oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) Sumatera Barat sebagai salah seorang nara sumber dalam diskusi panel bertajuk Aktualisasi Fungsi Masjid yang dilaksanakan di Masjid Nurul Iman Padang. Pada momen ini pak Mochtar adalah keynot speakernya.
Dalam sessi isoma, saya sempat berdialog dengan beliau tentang bayak hal. Salah satunya yang masih saya ingat adalah beliau menanyakan kenapa saya belum juga menyelesaikan kuliah. Jawab saya, hari hari saya telah larut dengan tugas sebagai wartawan (saya jadi wartawan Singgalang sejak 1985). Lantas beliau menjelaskan, “semestinya anda bisa membedakan mana yang wajib dan mana yang sunat. Mengerjakan yang wajib harus didahulukan dari mengerjakan yang sunat. Menyelesaikan studi itu wajib, jadi wartawan itu sunat,” jelas pak Mochtar dengan sederet argumentasinya.
Penjelasan yang beliau sampaikan itu, saya pahami sebagai harapan dari seorang guru kepada muridnya. Betapa mulianya sang guru yang mau mengingatkan di kala muridnya “terlena” dengan dunia barunya; wartawan.
Sejak itu saya selalu meluangkan waktu di malam hari untuk menulis skripsi tentang Perubahan Sosial di Limau Manis (Studi Kasus perubahan komunitas kecil dari Nagari ke Kelurahan). Judul ini merupakan saran beliau di tahun 1985, saat saya diminta oleh kawan kawan menyiapkan makalah dalam rangka studi banding mahasiswa Sosiologi Unand ke UI, ITB dan UGM.
Kini, sang guru hebat itu telah tiada. Semoga ilmu yang telah beliau curahkan berkah bagi kami. Allahummaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu. Selamat beristirahat pak, kami pasti menyusul***