Soal Penyimpangan Dana CSR oleh BI dan OJK, Ini Pendapat Defiyan Cori
SEMANGATNEWS.COM. Pakar Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menyatakan bahwa
kasus penyimpangan dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan/TJSL (Corporate Social Responsibility/CSR) yang mencuat oleh adanya bukti korupsi yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukanlah sesuatu yang aneh bin ajaib.
Kenapa demikian? Sebabnya, adalah memang kedua lembaga ini tidak memiliki dasar aturan dan kewenangan dalam menyalurkan kewajiban TJSL atau CSR tersebut. Kedua lembaga ini yaitu Bank Indonesia (BI) atau sebagai bank sentral negara dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merupakan lembaga pengawas bagi jasa keuangan (perbankan dan non perbankan) bukanlah sebuah entitas badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT)!
Hanya badan hukum PT yang dikenakan kewajiban mengeluarkan dana TJSL/CSR sebesar 3 persen dari labanya, lalu apa ada alas aturan BI dan OJK? Ketiadaan aturan yang mewajibkan kedua lembaga tersebut untuk menyalurkan dana CSR itulah berpotensi terjadinya penyimpangan dana. Kewajiban penyaluran dana CSR ini hanya berlaku pada organisasi perusahaan yang mencari keuntungan atau laba (profit) dan adanya imbal balik (trade off) terhadap lingkungan sekitar lokasi operasinya di Indonesia. Lalu, pertanyaannya apakah Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lembaga yang menghasilkan keuntungan atau laba dan jika tak ada UU yang mewajibkan penyaluran dana CSR darimana sumber dana CSR tersebut?
Dalam kasus BI, jelas sumbernya uangnya adalah kas bank sentral ini yang punya kewenangan atas uang dan jumlah uang beredar serta devisa negara dalam jumlah ribuan triliun. Tidak hanya itu, untuk tujuan apakah penyaluran dana CSR dan kemana proses transparansi dan akuntabilitasnya dilaporkan sehingga menjadi temuan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adanya dugaan korupsi masuk ke kantong pribadi jajaran Gubernur BI Perry Warjiyo dan Ketua OJK Mahendra Siregar. Oleh karena itu, sangat layak bagi KPK dan juga Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan serta audit komprehensif dan atau investigatif atas kegiatan penyaluran dana CSR tersebut.
Dengan latar belakang itulah, maka BI dan OJK bukanlah perusahaan atau korporasi yang dibebankan untuk melakukan penyaluran dana CSR. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) keduanya terutama masing-masing berada dalam bidang ekonomi dan moneter yang harus melakukan stabilisasi ekonomi dan moneter serta pengawasan lembaga keuangan. BI dalam menjalankan tupoksinya harus mengacu pada UU No.23/1999 dan perubahannya melalui UU No.3/2004 dan OJK segala tupoksinya diatur oleh UU No. 21/2011. Sedangkan, ketentuan CSR diatur oleh UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang TJSL.
Artinya, jika para pejabat BI dan OJK menyalurkan dana TJSL/CSR dengan aturan yang dibuat lembaga itu sendiri, maka jelas tindakan kerusakan moral (moral hazard) yang luar biasa dan patut KPK dan aparat hukum lainnya menelisik sejak kapan kasus ini mulai terjadi supaya penegakan hukum berkeadilan! Sebagai lembaga independen, BI dan OJK hanya terikat pada UU yang merupakan otoritas kedua lembaga ini dan tidak boleh beroperasi keluar dari ketentuan dan peraturan sebagai entitas non PT atau OFFSIDE. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang mengesahkan kedua pejabat lembaga ini juga harus bertindak atas pelanggaran dan penyimpangan kewenangan tersebut sebagai otoritas penyelenggara pemerintahan!