Kronik PWI;Tokoh Pers Wina Armada Bungkam Basril Basyar yang Membuat Surat Terbuka
SEMANGATNEWS.COM- Dr. Ir. H. Basril Basyar, MM Ketua terpilih konferensi PWI Sumatera Barat 23 Juli 2022 yang dibatalkan pengurus PWI Pusat membuat surat terbuka ditujukan kepada seluruh anggota PWI se Indonesia.
Surat tak bertanggal itu sudah beredar sejak Sabtu kemarin di berbagai Whatshap, termasuk di grup Warga PWI dan menjadi topik hangat ditanggapi anggota.
Basril Basyar, menyebutkan surat terbuka yang Ia buat itu dipicu oleh adanya Surat Dewan Kehormatan No. 41/SK-DK-PWI/VII/2022, bertanggal 25 Juli 2022 yang ditujukan kepada Ketua PWI Pusat yang ada kaitannya dengan dirinya sebagai ketua terpilih.
Ia menyatakan, gara- gara Surat DK itulah dirinya tidak dilantik hingga sekarang.
Surat yang ditujukan untuk umum itu kemudian berbelok minta SK DK PWI Pusat tersebut dicabut. ” Kami minta Saudara untuk mencabut Surat Saudara No. 41/SK-DKPWI/VII/2022 yang ditujukan kepada Pengurus PWI Pusat yang mengakibatkan tertundanya pelantikan Pengurus PWI Sumbar,” tulis Basril Basyar.
Dewan Kehormatan PWI Pusat lalu menanggapi dan menegaskan di WAG itu, ”
DK-PWI tidak pernah mencabut satu surat pun yang menjatuhkan sanksi peringatan, skorsing, maupun pemberhentian anggota PWI. Bahwa, ada pihak yang membangkang tidak melaksanakan putusan DK-PWI itu urusan yang bersangkutan mempertanggungjawabkan nanti. Sejarah akan mencatat pembangkangan itu dan jejak digital DK-PWI menegakkan aturan.
Ingin Dilantik meskipun status ASN
Membaca surat Basril Basyar yang cukup panjang intinya ngotot tetap dilantik meskipun berstatus ASN dan sudah dua kali di jabatan yang sama. Alasannya dia mengaku tidak melanggar PDPRT dan Kode Perilaku Wartawan( KPW).
Pernyataan Basril Basyar bertolak belakang dengan jejak digital Basril Basyar yang pernah mengajukan permohonan berhenti/pensiun tanggal 6 Juli 2022 dan dijawab Dekannya tanggal 12 Juli tahun yang sama.
Jelas Bebe sangat memahami aturan organisasi PWI, sehingga untuk maju ke tiga kali dia mengajukan permohonan berhenti dari ASN.
Argumen lain dan alasan yang dikemukakan Bebe kontan dimentahkan oleh penjelasan Wina Armada, SH yang advokat dan Wartawan senior.
Berikut penjelasan Wina;
Antara PD-PRT PWI, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI dan Kode Perilaku Wartawan (KPW) PWI, tidak ada yang lebih tinggi, atau lebih rendah.
Ketiganya sederajat, hanya ruang lingkupnya yang berbeda. PD PRT lebih kepada organisatoris. KEJ lebih kepada karya jurnalistik. KPW lebih kepada perilaku wartawan. Ketiganya saling terkait
Misalnya, sebut Wina, kalau ada wartawan melanggar KEJ, tidak bisa lantas dinafikan dengan alasan pelanggaran KEJ itu letaknya di bawah PD-PRT. Begitu juga, kalau ada wartawan, contohnya, melakukan tindak kriminal berat, semisal memperkosa, tidak dapat dikemsampingkan dengan alasan tidak melanggar PD-PRT. Ketiga produk aturan dan norma dalam ketiga aturan tersebut, sederajat dan saling memperkuat.
Lebih lanjut Wina, daya laku dan ruang lingkup PD-PRT, KEJ dan KPW untuk semua wartawan anggota PWI tanpa pengecualian. Termasuk pengurus yang tidak aktif di lapangan.
Dengan begitu jika ada anggota PWI yang kartu anggotanya berlaku seumur hidup, tidak bermakna tidak berlaku lagi ketentuan KEJ dan KPW. Kendati sudah memiliki kartu anggota seumur hidup, bahkan lengkap dengan berbagai penghargaaan, tidak berarti yang bersangkutan boleh dan dibebaskan dari kewajiban mematuhi KEJ dan KPW. Contohnya, kalau pemilik kartu seumur hidup melanggar KEJ, harus tetap dinyatakan melanggar KEJ.
Tidak lantaran sudah menjadi anggota seumur hidup lantas bebas melanggar KEJ. Begitu juga seandainya melanggar KPW, ya harus diberlakukan KPW.
Tegasnya, pelanggaran yang terjadi sebelum dan atau setelah seorang anggota menjadi anggota seumur hidup tidak menghalanginya diterapkan peraturan-peratuan PWI, apalah itu PD-PRT, KEJ maupun KPW.
Wina menukik pada kongres di Semarang, sebenarnya, filosofi dan semangat kepengurusan PWI hanyalah dua priode pada jabatan yang sama.
Ia mencontohkan, ketika Bung Tarman telah hampir selesai dua priode kepemimpinannya sebagai ketua umum PWI Pusat, ada usaha untuk menambah frasa “kecuali jika Kongres menghendaki lain,” di belakang ketentuan “seorang anggota hanya boleh menjabat dua kali pada jabatan yang sama.” Tetapi kongres dan pengurus PWI Pusat menolaknya. Saya termasuk yang sangat keras menolak perubahan/penambahan frasa itu, sehingga persahabatan saya dengan Bung Tarman sempat renggang.
Begitu juga ketika Bung Margiono bakal mengakhiri masa jabatan ketua umumnya yang kedua, ada pula usaha untuk mengubah klausa hanya boleh dua priode pada jabatan yang sama, menjadi tidak terbatas. Tapi lagi-lagi, kongres menolak dan sebagian besar pengurus PWI Pusatpun menolak.
Oleh karena itu filosofi dan norma maksimal dua priode itulah yang sejatinya sampai kini menjiwai kepengurusan PWI.
Asas hukum yang mengatakan sebuah peraturan hanya berlaku jika sudah ada peraturan tertulis lebih dahulu, itu merupakan asas hukum pidana.
Begitu juga, jika ada dua peraturan yang berbeda, kepada tersangka/terdakwa diberlakukan peraturan yang lebih menguntungkan, merupakan asas hukum pidana. Dengan demikian, tidak dapat diterapkan dalam bidang non pidana, seperti oraganisasi. Sebab, jangan lupa, ada pula azas hukum administrasi yang
mengatakan, jika ada dua peraturan yang berlaku, maka yang dipakai adalah peraturan yang dibuat paling belakang. Dengan demikian, pengutipan dan pemakaian azas-azas – hukum pidana dalam organisasi sangat tidak relevan dan tidak tepat.
Terakhir Wina mengunci, jika ada anggota PWI yang merasa dirugikan sesuai dengan berbagai peraturan di organisasi PWI, dapat membela diri di kongres.
BB sendiri yang ada di WAG ” tiarap” jam menghadapi komentar-komentar tajam.Tengah malam baru muncul dengan pendapat mengulang isi suratnya yang sudah dibedah berjam-jam oleh member WAG Warga PWI. Karena diskusi sudah tutup tidak ada lagi yang mau peduli keterangannya.**